...klik disini untuk melihat bagian satu
...klik disini utuk melihat bagian tiga



Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka” maka sekarang yang bicarakan tentang hal dasar.

Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta philosophisce grondslag, atau jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.

Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas “Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanscahuung”, filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas “Weltanschauung”, yaitu yang dinamakan “Tenoo Koodoo Seishin”. Di atas “Tenoo Koodoo Seishin” inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?

Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung” mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: “Sovyet – Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.”, John Reed, di dalam kitabnya: “Ten days that shock the world”, “Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia”, walaupun Lenin mendirikan Sovyet- Rusia di dalam 10 hari, tetapi “Weltanschauung”nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia “Weltanschauung”-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas “Weltanschauung” yang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu dicobakan di “generala-repetitie-kan”. 

Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetitie” daripada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschauung” itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas “Weltanschauung” yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.



Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung” itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, “Weltanschauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya “Munchener Putch”, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar “Weltanschauung” yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.

Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka, Paduka tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doktor Sun Yat Sen?

Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi “Weltanschauung”nya telah diikhtiarkan tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three people’s principles” San Min Chu I, Mintsu, Minchuan, Min Sheng, nasionalisme, demokrasi, sosialisme, telah digambarkan oleh doctor Sun Yat Sen. Weltanschauung itu, baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah, San Min Chu-I-kah, atau “Weltanschauung” apakah?

Saudara-saudara sekalian, 

Kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, macam-macam, tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju: Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?

Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! 

Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosaki ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.

Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.

Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: Maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara. Janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu nationale staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakana kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuan pun orang Indonesia, nenek tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.

Satu Nationale Staat! 

Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu” perlu orang-orang yang merasa diri bersatu dan mau bersatu.

Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le, desir d’etre  ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.

Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, di situ ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah “Eine Nation ist eine aus Schiksalgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).

Tetapi kemarin pun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenchap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.

Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau tuan Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “I’ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. 


Apakah tempat itu? 
Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT, membuat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar lautan Pacific dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benuar Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya adalah satu kesatuan. Deemikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia adalah “golbreker” atau pengadang gelombang lautan Pacific adalah satu kesatuan.

Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.

Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.

Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? 

Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah-air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah-air kita!

Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus Schiksalgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada “desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan! Penduduk Jogja pun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Jogja pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan.

Pendek kata, bahasa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Jogja, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah terjadi, Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adlah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu-satu, sekali lagi satu! (tepuk tangan hebat)

Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.

Saudara-saudara, 

jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Saksen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jerman ialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar, dan Orissa, tetapi seluruh segitiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.

Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu, kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrooesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan national staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtajasa saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hassanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.

Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”.

Tuan Lim Koem Hian: "Bukan begitu! Ada sambungannya lagi."

Tuan Soekarno: Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak da bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya “mensch heid”, “peri kemanusiaan”. 




Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, katanya: Jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, Alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, — ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu.

Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh “The Three People’s Principles” itu, Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, — masuk ke lobang kabur. (Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)

Saudara-saudara, 

Tetapi… tetapi… menentang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berfaham “Indonesia Uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal itu!

Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalisme, tetapi kebangsan saya adalah peri kemanusiaan”. “My nationalism is humanity”.
(untuk membaca tulisan tentang kata-kata Gandhi, klik disini)
 

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinism, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutshland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsa minulyo, berambut jagung dan bermata biru “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedangkan bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian. Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia yang terbagus dan termulya serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.



(Bersambung ke bagian tiga)
..ini adalah sepertiga dari keseluruhan pidato

Paduka tuan Ketua yang mulia!

Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menepati permintaan Paduka tuan Ketua yan mulia. Apakah permintan Paduka tuan Ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepad sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
SO7 akan tour keliling dunia dengan perahu layar???
SO7 mengadakan jalan-jalan pesiar dengan sheilaganknya yang paling setia??? atau...
SO7 tak tahan lagi semua albumnya dikacangi pemirsa (yang lebih memilih SM*SH dan wali) dan memilih kabur dari Indonesia, dan memilih menjadi pelaut???

Salah...  
salah besar... ini saya bold.
kali ini saya capslock: SALAH BESAR!!!

Sheila on 7, il fenomeno musik Indonesia itu kembali ke hadirat kita semua, para pecinta musik, dengan bendera perang baru: BERLAYAR titelnya.

Hmm.... kenapa albumnya bertajuk berlayar? Seru kah? Atau seperti biasa, kehilangan taji lamanya?
Guys, kali ini album ini istimewa.... untuk anda, untuk saya, untuk setiap orang yang merasa bahwa Sheila bukanlah sekedar band, tapi juga bagian dari proses tumbuh kembang dalam perjalanan hidup kita semua :D .
Seriously, apa yang kalian pikir saat mendengar kata "biografi"? :D
Kalau aku, kubayangkan sebuah buku tebal, dengan hard cover. Judulnya tentu berbahasa tinggi, bahasa filsuf-filsufan. Soeharto: Fikiran, Perkataan, dan Perbuatan Saya, Ani Yudhoyono: Putri Pejuang atau judul keren lain. Isinya kalau bisa gambarnya minim -kalaupun ada itu foto keluarga besar resmi yang memakai batik- dan sekali lagi, bahasanya dewa! Pokoknya sebanyak mungkin berfilsafat, kalau bisa istilahnya import.

Tapi ini biografi, kok bentuknya komik? Bahasanya komikal pula. Selain itu sampulnya nggak gagah, malah membuat tersenyum. Judulnya pun nggak pakai filsafat: Gus Dur Van Jombang

Holyshit bukan?
Bagaimana mungkin aku tak menghampiri rak tempat buku mencolok mata ini bertengger di Gramedia?  

Pertama-tama, buku ini jaminan mutu, setidaknya bagiku. Mengapa? Bagi orang yang mengenal sosok Dewa Made Cakrabuana Aristokra akan tahu pasti bahwa ia tak mudah mengeluarkan uang di Gramedia. Kalau ia sampai mengeluarkan uang disana, sudah pasti buku itu luarbiasa uniknya, menghantui mimpi, otak, dan kartu ATM BNI-nya setiap malam.
Fuckyeah...

Bentuk fisiknya...
Satu kata: eye catching!
Bagaimana tidak eye catching, pertama, bentuk bukunya memanjang, khas komik Beni Mice; kedua sampulnya kartun, Gus Dur memakai pakaian shaolin sedang melakukan fly kick, dengan kipas ditangan kanan, dan jempol membentuk tanda "oke" di tangan kiri. Sampulnya saja sudah gila!; ketiga, tokoh yang dibahas adalah Gus Dur, dan setiap buku bertema tokoh ini berarti eye catching untukku (yang satu ini alasan yang sifatnya personal, haha!)

Ini penampakan sampulnya....

"sampul komik biografi Gusdur Van Jombang" 


Isi bukunya...
Isinya cukup padat dan menyeluruh tentang kisah Gus Dur sejak suasana kelahirannya sampai ilustrasi pemakamannya.

Tunggu dulu....
Biografi tokoh sekaliber Gus Dur kok dituang ke sebuah komik tipis???
Yakin bisa padat berisi?
I mean, bahkan kalau semua gambar di komik ini dihapus dan dijadikan tulisan penuh, plus font dan spasi seminim mungkin, buku dengan ketebalan segini tak akan cukup untuk menceritakan kisah bapak bangsa unik satu ini...

Jadi, segera saja di kubuka sampulnya di rak buku Gramedia itu...

Wusss........


Hebat!


Saking hebatnya, memunculkan suatu sensasi seperti orgasme yang terjadi pada buku bagus dengan pembacanya. Orgasme kosmik itu terjadi saat kita bergelut ditengah halaman buku dengan serius dan antusian menikmati tiap lembarnya. Namun pada akhirnya malah diserang kesedihan + kehilangan saat buku itu selesai dibaca. Siapa bilang orgasme tidak bisa terjadi di toko buku?

Kepuasan itu kurasakan saat membacanya. Puas sebagai seorang penikmat komik, puas sebagai pecinta Gus Dur dan warisannya, puas sebagai pengunjung gramedia yang jarang membeli buku dan akhirnya memutuskan bahwa uangku pantas untuk menebus buku ini. Ilustrasinya bikin jatuh cinta, tarikan garis gambarnya sederhana dan jenaka! Karikatur dan dialognya cerdas dan berisi,  leluconnya bukan slapstick murahan seperti Jackass dimana lucu berarti orang lain terpeleset kulit pisang atau jatuh dari motor dengan bodoh. Leluconnya hadir lewat gambar dan dialog cerdas, secerdas lelucon Sponge Bob.


* * *

Hmm..... Gus Dur... 
kalau kau membaca buku ini, kau pasti akan tersenyum. Bahkan tertawa! Aku tau kau suka sekali lelucon (sebagaimana leluconmu pada tulisan disini)

Ah sudahlah, aku hentikan saja tulisan ini disini, sebelum aku semaki larut merindukan sosokmu sebagaiman semua masyarakat merindukan seorang Gus Dur di tengah angin marjinal di negeri ini. Kau memang tak kan hidup lagi, Gus, tapi kau tak pernah mati. Kau ada, menyala-nyala di dada muda Indonesia bersama Bung Karno, Pancasila, dan semua harapan!

(awalnya tulisan ini ditulis dengan semangat '45
...tapi akhirnya malah jadi galau
"Gus, republik ini kau tinggalkan terlalu cepat!")