Memulai pacu besi kuda di jam sembilan pagi dari kantorku. Tiga jam berkendara di tengah dera jalanan bopeng, menguras tenaga.

Dilanjut hiking. Mendaki bukit nan hijau selama tak lebih tiga jam. Bayangkan itu, badan bodoh yang terbiasa duduk di kursi kerja kini dihajar alam. Remuk redam!

Tapi sesampai di sana, terbayar sempurna. Puluhan handai tolan, warga ramah menyambut dengan adatnya. Ini desa mereka, Bung! Kita yang ikut adatnya.

Disekitar, wisatawan tak terkira. Jangankan Jakarta, Tiongkok sampai Swedia ada semua. Kami bercengkrama, menikmati nuansa purba, menyimak langit penuh awan, bebas polisi apalagi polusi.

Damai tak terkira. Bukan sekadar sirkus pura-pura, ini nyata.

Waerebo, tempatku mengingat kata "damai" yang hampir kulupa.

Pasti kembali, suatu saat nanti.