Melihat kawanku punya Playstation seri terbaru? Ah... tak membuatku iri! Melihat kawanku punya motor baru dengan segala baut posh? Ah... tak membangkitkan seleraku.

Tapi melihat satu benda ini? Seketika liurku menetes.

Yeah.... Korg ToneWorks AX1500g adalah hantu masa kecilku. Sampai sekarang ia masih menghantui!

Ah... yang membuatku heran adalah ternyata ini sudah tanggal tua di bulan yang paling tua pula: 22 Desember, penghujung tahun 2013. Tahun ini tensinya tinggi, perputarannya cepat. "Tahu-tahu 2013 sudah mau berakhir aja," kutukku dalam hati.

Hari Ibu?
Kulirik media sosial yang terinstal ramai di handphone. Entah Twitter, Facebook, Path, sampai recent update di BBM kompak bersekongkol: mengingatkanku akan hari apa ini! Kulihat paras rupa ibu-ibu sahabatku, yang ramai mengucapkan selamat sembari mengganti foto profil mereka. Senyum aku dibuatnya, wajah mereka banyak yang mirip!

Ahh... ibuku! Byang apa kabarnya, ya?

Ia pasti sedang berjibaku di Pasar Negara, tempat ia menjajakan barang sejak sebelum dekade 90-an sampai..., entah sampai kapan nanti. Ia orang yang sederhana, terlampau sederhana. Ia takkan mengerti kenapa hari ini disebut Hari Ibu.

Kenapa pula tanggal 22 di bulan Desember disebut Hari Ibu?
Jawaban paling sah: ya karena tahun 1959 silam, Bung Karno mendekritkan begitu.



Tapi ibuku yang sederhana takkan peduli. Ia hanya peduli pada keluarganya. Kawanannya. 

Mungkin ia hanya membatin, "Berapa dagangan ini harus laku agar anak-anakku bisa membayar SPP di TK Kristen paling mahal di Kabupaten Jembrana." Ia percaya pada Aji yang memegang teguh prinsip: bahwa pendidikan adalah pembebasan! Bahwa anak-anak mereka harus mendapatkan pendidikan terbaik.
"... dan untuk anak sekolah, pasti ada rejeki!" Kata Aji, itu mantra  dari Zainuddin MZ yang senantiasa menguatkan dirinya.

Byang ku takkan peduli pada seremoni Hari Ibu ini.

Ia hanya peduli pada: berapa dagangannya harus laku agar biaya semesteran anak sulungnya di Fakultas Kedokteran dan biaya hidup putra kesayangannya di STAN Bintaro bisa terpenuhi. Itulah yang kadang membuat hatiku ngilu saat menyantap dada ayam lalapan skala besar, sendirian dekat kampus. Sementara di rumah sana mereka takkan pernah egois makan dada ayam sendiri, seperti yang tengah kulakukan.

Hari Ibu hanya satu hari biasa buat Byang.

Anak-anak parasit penggerogot tubuh inang ini sudah bisa mandiri, menghasilkan uang sendiri. Sepertinya ia masih saja tak peduli. Kini yang ia pedulikan hanyalah kapan anak perempuannya yang baru nikah itu berkunjung pulang. Sekadar diukur tensi saja Byang akan cukup senang. Atau kapan anak lelaki jagoannya pulang berlibur dari Kupang. Bukan untuk apa-apa, sekedar ia buatkan rujak ataupun belikan sate Men Yasa yang anak itu gemari sejak masih 7 tahunan. 

Anaknya lahap makan adalah pemandangan yang lebih berharga buat Byang dibandingkan Israel akur berdamai dengan Hamas. Byang tak peduli pada geopolitik dan perdamaian dunia. Ia peduli pada perut anaknya yang bandel-bandel.

Hari Ibu...

Akan ku telepon Byang. Meski ia akan selalu mengulang pertanyaan yang sama, "Bo ngajeng De?" Sudahkah kau makan, De? Mungkin ia tak tahu harus bertanya apa di telepon. Mungkin banyak yang ingin ia katakan, tapi hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Mungkin juga hanya itu lah yang mengganjal di hatinya. Sebuah pertanyaan, "Sudah makankah anakku di sana? Aku tak bisa memastikannya karena kami begitu jauh. Aku tak kuasa mengisi nasi di piringnya. Seperti biasa."

Ah Byang... 
Aku juga bingung.

Mengapa aku menulis semua ini di blog. 

Lagi pula engkau takkan pernah membuka browser dan membaca tulisan ini. Pertama, kau tak peduli benda apa pula itu browser. Kedua, yang kau pedulikan adalah berapa lakunya barang dagangan ini, agar bisa jadi roket pendorong anak-anakmu agar bisa sampai di tujuan hidupnya.

Selalu sehat kau disana... Byang! :)
Belum membaca bagian pertama dari kisah ini? Silakan klik disini
Cobalah, baca sambil dengar lagu ini. Lagu ini dibuat oleh Guntur Soekarnoputra tentang Ibundanya.



Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati. Ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tahu wajah sang ayah bengkak-bengkak dan sulit berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.

Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. “Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden,” kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya.

Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya.

“Lho, Mbak Rachma ada apa?” tanya Bu Tien, kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien tersentuh dan menggenggam tangan Rachma. Sambil menggenggamnya, Ibu Tien mengantarkan Rachma ke ruang kerja Pak Harto.
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana Merdeka dalam waktu 2 x 24 jam.

Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno juga tak bersahabat.

“Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!” tegas mereka.

Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu disana.

“Mana kakak-kakakmu?” tanya Bung Karno. Guruh menoleh ke arah bapaknya lantas berkata, “Mereka pergi ke rumah Ibu”. Rumah ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.

Bung Karno berkata lagi, “Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu. Jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara,” kata Bung Karno, lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana.
Apa yang muncul di kepalamu ketika melihat orang yang pertumbuhan kakinya tak sempurna, berjalan dengan kursi beroda, melintas di sebelahmu saat kau asik belanja sayur di pasar? Entah bagaimana reaksimu, tapi kubayangkan akan banyak orang bengong, heran, kagum sampai membantu mendorong kursi, atau bahkan ada pengunjung pasar bergumam, “ngapain sih, susah-susah kesini, di rumah aja diem.”

Cerita-cerita semacam tadi banyak kudengar di sini, di sebuah yayasan yang menaungi saudara-saudara “sekilas-tampak-berbeda” kita di sudut sejuk Tampak Siring, Gianyar Bali. Spesial tentang gumaman pengunjung pasar tadi dikisahkan oleh Bli Gusti, salah satu warga disana dengan semangat paling besar yang pernah kulihat. Kebetulan, aku berkesempatan menjalani satu babak hidup untuk bersentuhan langsung dengan mereka. Hidup ditengah mereka selama dua hari satu malam, dua sampai tiga Maret tahun 2013.

Dan tentang semua kisah diatas tadi, percaya atau tidak, kawanku sekalian, mereka ceritakan padaku tanpa kesan duka. Sambil tersenyum pula!
* * *


Ada sebuah kalimat lama, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Itu bukanlah kalimat sembarang. Kalimat itu dibuat puluhan tahun lalu saat Republik Indonesia baru berumur sehari.

Kawanku, itu adalah bunyi dari pasal 27 Undang Undang Dasar negara kita. “Tiap-tiap warga negara,” katanya, “berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Bapak-bapak pendiri pondasi republik ini ingin agar tiap anaknya, anak bangsanya ini, punya hak dan kesempatan untuk bekerja, untuk mengejar hidup layak.

Tapi sayangnya, tak semua punya kesempatan yang sama. Apalagi untuk saudara kita yang “sekilas-terlihat-berbeda”, alias difable.

 “Saya rajin ikut kirim lamaran kerja semacam begitu. Waktu di PT BTDC sampai lulus psikotes malahan” kisah Bli I Gusti Ngurah Arya Natih, warga yayasan berusia 30 tahun asal Mengwi. Oya, nama yayasan ini adalah Senang Hati, nama yang positif, bukan? Saat kutanya bagaimana kelanjutan kisah Bli Ngurah dengan BTDC, ia mengaku tes wawancara menggagalkannya. Ada raut kecewa yang tampak saat ia berkisah.

Kisah lain lagi dari Yulia (maaf, umur disamarkan, ha!). Dara satu ini asli Pontianak, namun ber-KTP Tangerang, yang kini jadi warga yayasan Senang Hati di Bali pula. Bagaimana ceritanya bisa melanglang buana begitu, ah tak cukup bila kuceritan disini. Bisa jadi satu novel memoar lima ratus halaman nanti, bukan lima ratus kata. “Ndak tahan saya dikekang keluarga, saya datang ke Jakarta. Buka warung kecil-kecilan, gitu,” kisahnya sambil tersenyum. Keterbatasan finansial, belum lagi keterbatasan fisik nampaknya membuat Yulia lelah bertarung hidup di Jakarta.

Satu yang harus kita catat, Bli Ngurah butuh tongkat untuk membantunya berjalan, sementara Yulia memakai kursi roda.

Hidup ini keras? Tanyakan dulu kepada mereka, apa itu arti hidup keras. Kadang kerasnya hidup mereka malah membuatku takut salah bersikap disini.

Contoh kecil saja, misalnya saat mereka berusaha melintasi tanjakan di halaman. Mereka berusaha, mereka menunjukkan diri mereka mampu. Bila mereka tak memanggilku untuk meminta bantuan, aku malu mendorong kursinya. Mereka tak ingin dilihat dengan belas kasihan oleh dunia. Jangan, tapi percayalah kalau mereka mampu.

Dan mereka memang mampu!

Seorang warga yayasan ini, kerja jadi PNS, lho!” kisah Ibu Putu Suriani, ketua yayasan Senang Hati dengan bangga. “Kami punya kerjasama dengan hotel kalau masalah penyaluran kerja anak kami, Dik. Di FIF Denpasar, ibu kepalanya yang dulu peduli sekali. Dua anak kami diterima kerja. Sayang, pas ibunya pindah dua anak kami sekarang diberhentikan.”

Diberhentikan? Satu hal menarik kita lihat disini, ternyata ada atau tidaknya kesempatan untuk mereka  tergantung otoritas.

Disinilah mereka menceritakan harapannya. Yang mereka butuhkan bukanlah tangan yang menyuapi mulut mereka dengan nasi. Yang mereka inginkan adalah kesempatan, untuk melihat dunia, menghadapi dunia, dan mencari kehidupan layak. Dengan kekuatan tangan sendiri!

Mereka mungkin memang tak punya otot dan tulang sekuat dan sesempurna orang kebanyakan. Tapi aku yakin mereka punya satu hal yang mungkin manusia paling sempurna pun jarang miliki: tekad dan semangat kuat untuk untuk membuktikan pada dunia, bahwa mereka bisa!

Aku percaya mereka bisa. Masalahnya, adakah yang membuatkan pintu kesempatan untuk saudara-saudara kita yang “sekilas mata tampak berbeda” ini?

Dewa Made Cakrabuana Aristokra

* * *



Tulisan ini kubuat tanggal tiga Maret 2013, saat aku berkesempatan hidup bersama mereka selama sehari-semalam. Kesempatan luarbiasa itu ada berkat Kelas Jurnalisme Warga angkatan XVI, yang diprakarsai oleh jagoan pers independen Bali, Anton Muhajir.

... dan kebetulan, Yayasan Senang Hati saat ini sedang ditayangkan oleh Kick Andy, MetroTV.

Yasudah, kuudarakan saja sekalian. :) 
"Ini bukunya"
Aku sedang duduk malas. Melepas lelah sepulang kerja.
Televisi disebelahku sedang menayangkan TVOne. Selayaknya TVOne, di layar kini tampak seorang presenter yang sedang mewawancarai memandu perdebatan antara beberapa narasumber. 

Nada bicara mereka mulai meninggi, saling berbantahan dengan seru. Mereka sedang membahas kontroversi "Soeharto" yang akan dijadikan nama sebuah jalan arteri di ibukota.

"Mereka lucu, sebenarnya," aku terkekeh dalam hati.

Bagaimana tidak lucu, coba!
Mereka sedang mewujudkan hal yang sebenarnya paling tidak disukai Pak Harto, sebagaimana yang beliau paparkan pada halaman-halaman awal biografinya. Yeah, Pak Harto benci kontroversi! 

"Kontroversi itu bisa menimbulkan dua kelompok, ada yang setuju dan ada pula yang tidak. Kedua pihak ini akan saling mempertahankan pendapatnya, bisa sampai gontok-gontokan. Nah disana muncul yang namanya pro dan kontra. Pro-kontra itu berbahaya, bisa mengganggu stabilitas nasional. Kalau stabilitas terganggu, kita tidak bisa membangun."

Begitu kira-kira kata Pak Harto di bukunya. Pola pikir "anti-kontroversi" itu memberi pola jelas atas semua pondasi pembangunan di era Orde Baru, bukan? Penghilangan (penangkapan, lalu pelenyapan) para aktivis, pembredelan media pengkritik pemerintah, itu hanyalah dua contoh kecil. Belum lagi inovasi semacam Departemen Penerangan, Petrus, sampai Dwi Fungsi ABRI. Pokoknya, stabilitas adalah mutlak menurut Pak Harto. Harga mati! Titik.

Oh, anyway, buku ini sebenarnya bagus. Memang tak sekelas buku terbaik Bung Karno, biografi Pak Harto ini memang dipenuhi jilatan-jilatan basah sang penulis pada pak presiden. Tapi aku suka membacanya.

Oke, lanjut.
Dimanakah aku berdiri -di kelompok pro atau kontra- atas pengusulan nama jalan Pak Harto ini?

Aku jarang menyadur tulisan dari luar,
tapi kalau aku menyadurnya, berarti ia luarbiasa menancap!
Awas, berbeda betul dengan buku pelajaran sejarah sekolahan...


"berusaha dicap diktator"
Selama ini, banyak orang secara sembrono mencap Bung Karno sebagai diktator. Salah satu dalihnya adalah  gelar ‘Presiden Seumur Hidup’ yang disandang oleh Bung Karno. Dengan gelar itu, bagi sebagian orang, Bung Karno sudah bertindak tak ubahnya raja-raja di jaman feodal.

Namun, sebelum ikut-ikutan menghakimi Bung Karno sebagai diktator, ada baiknya kita menelusuri dua hal ini.

Pertama, latar belakang lahirnya gelar Presiden Seumur Hidup itu; siapa pengusulnya, apa motifnya, dan apa respon Bung Karno.

Kedua, seperti apa konteks situasi politik saat itu sehingga Bung Karno menerima gelar itu.

Untuk menjawab yang pertama, saya kira penjelasan AM Hanafie, salah seorang tokoh angkatan 45 (mantan aktivis Menteng 31), dalam bukunya, AM Hanafi Menggugat; Kudeta Jend. Suharto Dari Gestapu Ke Supersemar, sangat membantu. Dalam buku yang terbit tahun 1998 lalu itu nyempil catatan Hanafie mengenai proposal Presiden Seumur Hidup itu.
(... AM Hanafie, AM disini adalah nama pengganti, Anak Marhaen Hanafie. Yeah, ia mengganti namanya agar revolusioner. Hal ini memang jamak kala itu. Salah satunya DN Aidit, selengkapnya ada di tulisan ini. -cakrabuana)

Menurut AM Hanafi, ide untuk menjadikan Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup berasal dari tokoh-tokoh Angkatan 45, terutama AM Hanafi sendiri dan Chaerul Saleh (Ketua MPRS saat itu). Usul itu kemudian dilempar di Sidang Umum ke-II MPRS di Bandung, Jawa Barat, tahun 1963.
Jadi...

Saat itu kami sedang duduk-duduk di kamarku. Duduk manis selonjoran di depan televisi, di suatu malam.

Kata "kami" disini merujuk pada tiga pemuda Bali yang sedang berdinas di Kota Kupang; aku, Legawa, dan Diantara. Bersama delapan pemuda Bali lain, kami dikirim kesini konon dengan embel-embel yang sok keren:
"demi mengamankan penerimaan negara!"

"daripada planga-plongo ndak jelas membahas mau makan dimana, puter aja film Shinchan ah," begitu aku membatin. "Biar kocak!"

... dan kupilih saja film yang memang belum sempat kutonton: Shinchan - The Adult Empire Strikes Back. Biar suasana jadi hidup, kami perlu hal-hal lucu. Apa yang lebih kocak dari si Nohara Shinosuke? Anak itu belum pernah mengecewakanku dalam urusan pengkaryaan suasana ceria.

Setidaknya sejauh ini belum.
"Hmm... ternyata ini sudah pertengahan duaribu tigabelas," aku bergumam sendiri

Tahun ini...

Tahun 2013 sepertinya bertekad untuk jadi tahun yang penuh warna untukku. Dan sepertinya tekadnya itu kuat sekali. Bukan main! Entah sudah berapa kasur yang kutiduri silih berganti sejak awal tahun ini. Terlalu sering. Dari kasur ke kasur... dari bantal ke bantal...
...dari satu langit-langit sepi saat lampu kamar telah mati, ke langit-langit sepi yang lain.

Yeah, siapa yang tak melayang-layang daya pikirnya, saat sendiri di kamar, lampu telah mati, namun hati masih menyala-nyala penuh tanda tanya sampai tanda seru, -sambil menatapi langit-langit diatas kepalanya? Aku suka merasakan langit di pagi dan sore hari sebagaimana kusuka pula menatapi langit-langit di detik menit sebelum terlelap pulas.

Sayangnya, langit-langit itu seringkali berubah-ubah.

Kau tau, belum lama bercengkrama dengan yang satu, langit-langit yang lain sudah menanti untuk ditatapi. Tidurku senantiasa berpindah tempat sejak awal tahun ini. Amat cepat, terlalu cepat malah, ahh! Dunia di hadapanku sedang berotasi dengan kecepatan tinggi.

Aku lelah...
Terlalu payah...

Tapi aku tak mau kalah.
Siang ini tak jauh beda dengan siang-siang hari kerja lainnya...

Aku sedang  duduk disini, di meja kerja ku.
Kadang, duduk disini membuatku merasa menjadi sebuah layar di bioskop tua. Dihadapku berjejer korsi-korsi plus senderan empuk, membentuk kolom dengan lorong di tengahnya; persis bioskop kan?! 


"layar tancap tua..."
Disanalah duduk manusia-manusia letih setengah ngantuk, setengah bosan, dan entah setengah apa lagi. Tapi anehnya mereka masih saja menghadap ke depan. Menghadap ke depan, berarti menghadap ke arahku.

Seringkali begitu perasaanku saat menjaga loket di kantor ini: perasaan sebagai sebuah layar tancap tua di hadapan penonton yang bosan! :o

Tapi hari ini adalah hari yang spesial, paling tidak buat dua sahabat masa kecil ku. Hari ini, enam Februari, adalah hari ulang tahun mereka. 

Siapa saja mereka?
Yang satu,  Guz Anggara namanya. Dialah partner in crime-ku, yang biasa kuajak pergi kemana-mana sejak masih bau kencur. Dari melasti naik motor ke pantai Yeh Kuning, mencari celana army di Hardy's, sampai sekedar menengok pameran di Pergung. Bahkan namanya sempat nongol di salah satu blog ini; episode Sejarah Gitar Merah Darah.
(klik link diatas untuk membaca)

Yang satu lagi (mungkin) satu-satunya sahabatku yang berasal dari Desa Budeng. Namanya Pebi Cahyana, meski ia lebih suka menyebut dirinya Feby: dengan huruf F dan huruf Y. Lebih trendy.

"Ooo... mereka ternyata ulang tahunnya sama", gumamku yang sedang multi-tasking, melayani orang yang datang ke loketku sambil melirik information bar di Facebook. Oh, mari ucapkan beribu terimakasih kepada Facebook. Berkatnya, kini mengingat ulang tahun teman begitu mudah.


Kalau aku yang ulang tahun, aku selalu senang bila kawan lamaku masih saja ingat ulang tahunku. Apalagi sampai mengucapkan selamat. "Seandainya punya Blackberry..." kutukku dalam hati, "...pasti lebih mudah ber-halo-halo pada kawan-kawan lama, yang semuanya emang pakai BB!". Berhubung tak ada, Twitter cukup lah jadi perantara untukku sekedar mengucap selamat ulang tahun.

Sambil tetap melayani orang-orang yang silih berganti, kutulis selamat ulang tahun di lini-masa mereka (dengar-dengar, timeline itu diterjemahkan jadi lini-masa, ya?). Klik, tik, klik, tik, saling berbalas tweet pun terjadi. Kutulis tweet selamat untuk Guz Anggara, kutulis pula tweet untuk Feby. Basa-basi khas teman lama pun terjadi disana, haha-hihi yang tak berawal, tak berakhir, tak jelas pula. Haha!

Iseng terlintas hal-hal lama di kepalaku. Hal-hal berbau nostalgia. Tanpa pikir panjang, kutuliskan saja itu, hal kecil yang dulu sering kami lakukan saat masih bocah.
Dass... kutekan enter.


Kulupakan tweet itu. Kembali kulayani orang-orang yang datang untuk mengurusi keperluannya dan mendatangi meja ku. Sedang asyik menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, muncul notifikasi mention di layarku. Feby membalas tweet.

Klik... klik... kubaca apa isinya...

... dan aku merasa kena stun tiga detik. :o
"... selama saya SMP..." katanya
Sudah kapan kah masa itu?"   

Astaga, itu sudah sepuluh tahun yang lalu... :|

Entah karena lagu Home milik Buble yang tak sengaja terputar -atau entah karena apa- slideshow kota kesayangan, Negara terlintas di kepalaku. Aku jadi ingat dengan masa-masa saat aku masih disana, jadi bocah kencur yang baru masuk di one of collest school: SMP Negeri 1 Negara.

Ternyata itu sudah sepuluh tahun...
... sepuluh tahun sejak sebuah motor Supra datang tiap jam lima subuh di hari Selasa. Seorang ayah sederhana, dengan ibu berbonceng di belakangnya akan berhenti dan membunyikan klakson sekali di depan rumahku. Aku yang masih bau kencur akan setengah berlari, bergegas membuka gembok gerbang. Si anak yang tadinya meringkuk di ujung jok depan dengan kaki dilipat (bisa kau bayangkan, saat anak kecil dibonceng naik motor dan duduk di depan), akan turun. Setelah mengambil tas sekolah yang sedari tadi digendong sang ibu, anak itu baru akan masuk ke rumahku setelah ayahnya selesai mengucek-ucek rambut si anak kebanggaan keluarga ini, sambil berpesan "melahang di sekolah..." 


Siapa kah anak itu?
Itulah Feby, kawanku!

Apa dia benar anak kebanggan harapan keluarga?
Tak akan ada orang tua yang mau mengantar seorang anak di jam-jam segitu bila tak bangga. Dan lagi, anak ini adalah salah satu dari sepuluh besar lomba murid berprestasi di Kecamatan Negara. Jadi, bisa dibilang dia murid terpintar di Desa Budeng! And hell yeah, his parents should be proud!

Apa yang seorang anak gadis lakukan jam segitu di depan rumahmu?
well...
Sekolah kami punya kebijakan canggih agar si anak bisa olahraga penuh, tapi -setelah berkeringat- tetap bisa pulang untuk mandi, sekaligus tepat waktu untuk mengikuti pelajaran jam sembilan. Kebijakan canggih itu adalah: memajukan jam olahraga!

Satu lagi, errr.... sayangnya Feby adalah seorang anak lelaki, haha! :D

Apa kah kau benar-benar berbau kencur? Bagaimana pula bau kencur itu?
Aku tak tau bau kencur itu bagaimana. Apa itu penting buatmu? Just stop this stupid question, and let me continue my story!

Hmm...
Aku jadi tersenyum mengingat masa-masa itu. "Sudah lama ya..?" aku mulai menghitung mundur, "... sekarang tahun... duaribu tigabelas, satu tahun nganggur, tiga tahun kuliah, SMA, SMP, hah... sudah sepuluh tahun???"


Memang, aku tau masa-masa itu sudah lama, tapi baru kusadari kalau ternyata sudah selama itu.
*  *  *

Ada sedikit rasa letih terlintas juga, berbarengan dengan kesadaran. Ternyata banyak yang sudah kulewati! Kejadian kost sendirian di masa SMA, kejadian makan mie lima hari karena kehilangan-uang-tapi-segan-kehilangan-muka-untuk-mengaku-pada-orang-tua, kejadian berangkat ke Jakarta dengan Aji, kejadian malam pertama di Jakarta, lalu kuliah... 
Hingga kini aku duduk di kursi ini, dan sudah bekerja.

Sudah jauh ya...?
Sudah jauh kah, mungkin...?
Mungkin sudah.


Aku merasa sudah berjalan sangat jauh?
Sama sekali belum. Harus malu lah aku bila merasa begitu! Seorang sahabat, sang vokalis bandku (aku bahkan tau dia harus jadi vokalisku sebelum mendengarnya menyanyi) kini berada di nun jauh di Kalimantan sana. Wow... ia bahkan sedang menjelajah di Bumi Borneo! 

Ternyata, semua burung-burung itu telah terbang meninggalkan sangkar, mencari kehidupan, untuk melihat aneka rupa dunia. Ada yang jauh di pulau seberang, ada yang dekat di kabupaten sebelah. Semua sesuai skenario cerita hidup masing-masing; semua terbang meninggalkan sangkar. 

Meninggalkan sangkar?!
yeah... perjalanan itu tidaklah mudah, tidak pula mulus. Burung-burung itu masih belia kan? Bagaimanapun berat jalur terbangmu, janganlah sekali-kali anggap burung lain punya jalur perjalanan yang lebih mudah darimu. Yang lebih sedikit angin, sedikit badainya. 

Tak percaya? Lihat ini... 
Seorang sahabatku, seekor burung kelas berat (man... badannya dia benar-benar berat!) yang hartanya gila-gilaan berkat toko aksesoris yang suskes besar, pun mengalami jalur terbang yang sulit. Cerita hidupnya berliku, banyak pasang surut. Pun dengan burung lainnya, sahabatku yang dianugerahi tanggung jawab mahaberat di holding perusahaan bisnis keluarga. Ia punya tembok seorang ayah yang hebat, tembok tinggi untuk dilampaui. Berkali mereka jatuh, berkali itu pula mereka terbang lagi. Tak ada yang tau, seberapa bersusah hati dalam benak kedua burung belia ini  -kecuali dirinya-. Tapi mereka selalu berusaha tetap terbang.

Ah kawan, kalian lah para burung-burung gagak yang sedang terbang sendiri. Gagak? Ya, aku sebut kalian para gagak. Aku tau kalian lebih suka dipanggil gagak, karena kita semua suka Genji dan Serizawa.... haha :D ! 
Dimanapun kalian berada, kawan, bagaimanapun skenario yang disiapkan Sang Ilahi, Hyang Widhi, Yahweh, Yesus -atau apapun manusia mencoba menyebutnya-sekarang dan nanti untuk kalian, berapa banyak tahun lagi yang akan mencerabutmu dari sangkar kesayanganmu... entah itu sepuluh, duapuluh, tiga puluh tahun, atau persetan berapa...

Kutunggu kau... :) 
.... suatu hari nanti di sangkar itu lagi, kawan!

Kalau saatnya sudah tiba, pulanglah ke sangkar itu. Ceritakan lah padaku bagaimana rupa dunia dari tempatmu terbang. Pasti keren sekali, ya... aku akan senang sekali mendengarmu bercerita nanti, tentang kau dan perjalanannmu. Mungkin kau bercerita sambil membawa pulang induk gagak cantik jelita untuk anak-anak gagak kebanggganmu. Mungkin, siapa tau?

Nanti, akan kuceritakan pula apa yang kulihat dari sini, dari atas tempatku terbang sekarang.

Kutunggu ceritamu, kawan kecil! ;)


Ditulis sambil mengganti lagu Home, by Bublee...
now playing: Hitam Putih Dunia by Rocket Rockers!!!