Apa yang muncul di kepalamu ketika melihat orang yang pertumbuhan kakinya tak sempurna, berjalan dengan kursi beroda, melintas di sebelahmu saat kau asik belanja sayur di pasar? Entah bagaimana reaksimu, tapi kubayangkan akan banyak orang bengong, heran, kagum sampai membantu mendorong kursi, atau bahkan ada pengunjung pasar bergumam, “
ngapain sih, susah-susah kesini, di rumah
aja diem.”
Cerita-cerita semacam tadi banyak kudengar di sini, di sebuah yayasan yang menaungi saudara-saudara “sekilas-tampak-berbeda” kita di sudut sejuk Tampak Siring, Gianyar Bali. Spesial tentang gumaman pengunjung pasar tadi dikisahkan oleh Bli Gusti, salah satu warga disana dengan semangat paling besar yang pernah kulihat. Kebetulan, aku berkesempatan menjalani satu babak hidup untuk bersentuhan langsung dengan mereka. Hidup ditengah mereka selama dua hari satu malam, dua sampai tiga Maret tahun 2013.
Dan tentang semua kisah diatas tadi, percaya atau tidak, kawanku sekalian, mereka ceritakan padaku tanpa kesan duka. Sambil tersenyum pula!
* * *
Ada sebuah kalimat lama, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Itu bukanlah kalimat sembarang. Kalimat itu dibuat puluhan tahun lalu saat Republik Indonesia baru berumur sehari.
Kawanku, itu adalah bunyi dari pasal 27 Undang Undang Dasar negara kita. “Tiap-tiap warga negara,” katanya, “berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Bapak-bapak pendiri pondasi republik ini ingin agar tiap anaknya, anak bangsanya ini, punya hak dan kesempatan untuk bekerja, untuk mengejar hidup layak.
Tapi sayangnya, tak semua punya kesempatan yang sama. Apalagi untuk saudara kita yang “sekilas-terlihat-berbeda”, alias difable.
“Saya rajin ikut kirim lamaran kerja semacam begitu. Waktu di PT BTDC sampai lulus psikotes malahan” kisah Bli I Gusti Ngurah Arya Natih, warga yayasan berusia 30 tahun asal Mengwi. Oya, nama yayasan ini adalah Senang Hati, nama yang positif, bukan? Saat kutanya bagaimana kelanjutan kisah Bli Ngurah dengan BTDC, ia mengaku tes wawancara menggagalkannya. Ada raut kecewa yang tampak saat ia berkisah.
Kisah lain lagi dari Yulia (maaf, umur disamarkan, ha!). Dara satu ini asli Pontianak, namun ber-KTP Tangerang, yang kini jadi warga yayasan Senang Hati di Bali pula. Bagaimana ceritanya bisa melanglang buana begitu, ah tak cukup bila kuceritan disini. Bisa jadi satu novel memoar lima ratus halaman nanti, bukan lima ratus kata. “
Ndak tahan saya dikekang keluarga, saya datang ke Jakarta. Buka warung kecil-kecilan,
gitu,” kisahnya sambil tersenyum. Keterbatasan finansial, belum lagi keterbatasan fisik nampaknya membuat Yulia lelah bertarung hidup di Jakarta.
Satu yang harus kita catat, Bli Ngurah butuh tongkat untuk membantunya berjalan, sementara Yulia memakai kursi roda.
Hidup ini keras? Tanyakan dulu kepada mereka, apa itu arti hidup keras. Kadang kerasnya hidup mereka malah membuatku takut salah bersikap disini.
Contoh kecil saja, misalnya saat mereka berusaha melintasi tanjakan di halaman. Mereka berusaha, mereka menunjukkan diri mereka mampu. Bila mereka tak memanggilku untuk meminta bantuan, aku malu mendorong kursinya. Mereka tak ingin dilihat dengan belas kasihan oleh dunia. Jangan, tapi percayalah kalau mereka mampu.
Dan mereka memang mampu!
Seorang warga yayasan ini, kerja jadi PNS,
lho!” kisah Ibu Putu Suriani, ketua yayasan Senang Hati dengan bangga. “Kami punya kerjasama dengan hotel kalau masalah penyaluran kerja anak kami, Dik. Di FIF Denpasar, ibu kepalanya yang dulu peduli sekali. Dua anak kami diterima kerja. Sayang,
pas ibunya pindah dua anak kami sekarang diberhentikan.”
Diberhentikan? Satu hal menarik kita lihat disini, ternyata ada atau tidaknya kesempatan untuk mereka tergantung otoritas.
Disinilah mereka menceritakan harapannya. Yang mereka butuhkan bukanlah tangan yang menyuapi mulut mereka dengan nasi. Yang mereka inginkan adalah kesempatan, untuk melihat dunia, menghadapi dunia, dan mencari kehidupan layak. Dengan kekuatan tangan sendiri!
Mereka mungkin memang tak punya otot dan tulang sekuat dan sesempurna orang kebanyakan. Tapi aku yakin mereka punya satu hal yang mungkin manusia paling sempurna pun jarang miliki:
tekad dan semangat kuat untuk untuk membuktikan pada dunia, bahwa mereka bisa!
Aku percaya mereka bisa. Masalahnya, adakah yang membuatkan pintu kesempatan untuk saudara-saudara kita yang “sekilas mata tampak berbeda” ini?
Dewa Made Cakrabuana Aristokra
* * *
Tulisan ini kubuat tanggal tiga Maret 2013, saat aku berkesempatan hidup bersama mereka selama sehari-semalam. Kesempatan luarbiasa itu ada berkat Kelas Jurnalisme Warga angkatan XVI, yang diprakarsai oleh jagoan pers independen Bali, Anton Muhajir.
... dan kebetulan, Yayasan Senang Hati saat ini sedang ditayangkan oleh Kick Andy, MetroTV.
Yasudah, kuudarakan saja sekalian. :)