Kupang, di Pagi Hari Itu...

, , 4 comments
"... pasar di pagi hari, bersama Niang..."

Kubuka mataku perlahan, mengejap-ejap. "Sial, baru jam lima kurang lima belas!" kutukku dalam hati. Kadang sengaja kusetel alarm gaduh handphone di jam-jam ini, sekadar untuk terjaga lantas tidur lagi. Tahukah kalian, sensasi bangun awal dan menyadari masih ada waktu tidur adalah menyenangkan? Ha!

Tapi tidak untuk pagi ini. Pagi ini alarmku tersetel pukul 06:23... dan 06:25.... dan 06:30. Sekarang baru 04:45. Masih lama!

Ada apa gerangan?

Entahlah... tapi tubuhku langung terjaga penuh tanpa lelah. Padahal seingatku aku masih terjaga jam 01:45, artinya aku baru tidur tiga jam. Aku tidak merasa aneh, malah tersenyum lebar. Mungkin benar, luka itu tempatnya di fisik, namun lelah dan menderita itu tempatnya dalam hati, tergantung bagaimana kita memikirkannya. Satu lagi dari sekian banyak hal baru yang batin dan tubuhku alami di dua minggu ini. Dan atas semua hal itu,  aku bersyukur. :) 

* * *


Masih berbaring, kubuka tirai jendela di sebelah kasur. Berkas sinar malu-malu tampak tersamar di balik atap rumah tetangga, membuat rumah tetangga seperti benda gelap besar dengan sedikit sinar mentari di belakangnya. Ah, Kupang... kau dianugerahi lokasi yang lebih timur dari Bali, sehingga menyongsong Hyang Surya lebih dahulu. Jam lima subuh sudah benderang!

Sungguh, itu pemandangan yang keren. Terasa indah dan hangat!

Spontan saja aku melompat ke pemutar musik. "Mana lagu Melati Suci dari Guruh ya..." batinku sambil menyusuri track list. Ini dia! Segera ku klik tombol play, dan mengalunlah lagu itu. Selimut yang tadi tercecer di lantai kini kugulung di badan, dan aku duduk manis menghadap jendela. Menghadap ke arah timur.

Dalam duduk diam ini, pikiranku melayang jauh ribuan kilometer ke kampung halamanku.

* * *

Sebagai orang yang jarang bangun pagi, hanya sedikit memori tentang pagi yang kumiliki. Lebih-lebih di Negara! Bagaimana tidak, tiap kepulanganku ke Negara (yang jarang-jarang itu...) biasanya habis diisi duduk di taman kota dengan sekelompok berandal sahabatku. Kami gemar bercerita tentang apa saja. Random! Topiknya bisa kerinduan pada era Winasa, bisa teman sekolah yang dulu dihina-hina kini malah secantik Dian Sastro, bisa tentang Freeport yang mengeruk republik, bahkan bisa sampai esensi konsep Tuhan nan universal! Gesah-gesah bog-bog (obrol-obrol sekadar), begitu kami menyebutnya, dan itu biasa berlangsung sampai jam tiga subuh!

Nah bagaimana mau bangun pagi, coba?

Padahal, kepulanganku adalah hal yang paling ditunggu semua keluarga, lebih-lebih Niang. Ia suka sekali diantar cucunya yang paling bandel ini ke pasar Jembrana jam enam pagi.

Biasanya, dengan sabar Niang akan duduk di sebelahku yang masih teler lelap jam enam kurang limabelas menit, "Made.. Made bangun..." ujar Beliau pelan, sambil menggoyang lenganku.

"Ehmmm...." aku biasanya berseru enggan setengah sadar, namun tetap bangun. Baru dua jam badanku tidur, kantuk masih kuat dan bantal masih begitu memikat. Tapi nenekku harus selalu aku nomor satukan :) .

Dan kami pun akan berjalan beriringan. Di sini keenggananku biasanya sirna, melihat tetangga-tetangga ternyata sudah aktif menyapu halaman. "Pagi Dewa Dek, rajin nggih antar Niangnya..." begitu biasanya sapaan Bu Dara, sang tetangga sambil tersenyum. Setengah tersipu setengah malu aku dibuatnya, karena awalnya niat bangunku hanya setengah.

Sesampai di pasar, aku makin bersyukur sudah mengalahkan kantuk. Ku ikuti saja Niang kesana-kemari mencari bunga dan alat-alat sembahyang. Niang akan gemar menawar, lalu tugasku lah untuk menebus harga ke penjual-penjual sederhana nan luarbiasa di pasar pagi itu.

Ya, para pedagang ini memang luarbiasa...

"Pasar Pagi Jembrana: Pedagang dan Dagangannya"

Bayangkan saja, saat mentari belum terbit, mereka sudah berjalan menuju pasar, sementara aku yang muda malah sibuk mencumbu bantal guling. Pedagang-pedagang itu menggelar dagangannya yang sederhana bahkan seadanya, kadang hanya pisang, tebu dan bunga yang tumbuh halaman belakang mereka. Itu jua yang mereka jual. Luarbiasa, bukan? Semangatnya menyala-nyala meski sederhana, demi nafkah keluarga mereka tercinta. Kawan, seringkali melihat manusia-manusia tulus ini membuatku bergumam,

"Suatu hari nanti bila aku berjodoh menjadi pejabat atau bupati, harus kubuat pasar rakyat kecil ini meriah dan menarik khalayak. Agar bisa tegak di tengah gempuran minimart-minimart milik pemodal kapitalistik yang tamak dan congkak itu! Bila rakyat sudah membeli canang dan janur di Tiara, rakyat kecil di pasar ini siapa yang menoleh?"

Sembari mengutuki sistem ekonomi kapitalisme, tanganku tiba-tiba sudah penuh kresek belanjaan. Janur kupikul, bunga aneka warna satu kresek kutenteng, aneka jahitan banten yang ku tak paham namanya, dan lain-lain kujinjing, dan kami berdua pun berjalan pulang.

"Seduk, lapar De?" tanya Niang sambil menyusuri jalan. Aku manggut-manggut semangat persis dakocan di dashboard mobil saat melewati polisi tidur. "Ayok beliang Ajik, Byang, jak Mboktu nasi jinggo..." Ah Niang.

Perjalanan pulang kami lanjutkan. Masih setengah tujuh, lalu kami sekeluarga akan berkumpul di teras dan makan nasi jinggo bersama. Bersama pula dengan matahari pagi yang masih bersinar malu-malu.

Indah! Aku sulit mencari gambaran momen yang membuatku lebih bahagia dari saat-saat itu.

Ah jadi rindu mereka. Seringkali kita mengira sedang merindukan sebuah objek. Tapi pernah kudengar, bahwa yang sebenarnya kita rindukan adalah rasa yang ditimbulkan oleh objek itu. Yeah.... yang kurindukkan adalah rasa hangat kala melihat mereka mengunyah makanan bersama sambil saling berbagi canda. Sederhana tapi hangat nan damai.

* * *

Pikiranku selesai berjalan-jalan, dan kesadaran kembali membawaku duduk berselimut tebal menghadap mentari terbit. Bukan di teras rumahku, melainkan di atas kasur kosan Pondok Damai, Kota Kupang.

Srangg.... srenggg.....

Suara penggorengan beradu seru dengan sutil dari dapur kosan. "Mungkin Dedek atau Sigit sedang memasak," tebakku dalam hati sambil masih duduk menghadap jendela. Sambil tersenyum, kurasakan pagi yang menyegarkan ini. Damai, sunyi, dan memberi kita fokus. Semesta kadang bertindak sesuka hati, tiba-tiba saja membangunkanku, membuatku duduk di jendela jam lima pagi, dengan senyum bahagia. Pagi yang aneh, tapi menakjubkan.

Sambil menyadari indahnya pagi ini, aku jadi bertanya-tanya: berapa banyak pagi seperti ini yang sudah aku sia-siakan dengan pulas memeluk bantal?

Ah... ternyata aku sangat duniawi ;)

Selamat (menikmati indahnya) Pagi... Dewa!


4 komentar:

Tinggalkan komentar sebagai name/url, dan tulis namamu di sana...