Buku ini judulnya serius amat: Pajak dan Pendanaan Peradaban Indonesia! 😐
Tapi segala yang berkisah tentang peradaban, macem Kartun Riwayat Peradaban-nya Larry Gonick sampai Sapiens-nya Harari, biasanya menggelitik. Menarik karena berkisah tentang perjalanan kita, umat manusia, yang awalnya cuma bisa melukisi gua purba hingga kini sukses membuat stasiun luar angkasa! Semua itu kisah tentang peradaban. Nah, buku ini mencoba melihat peradaban Indonesia dari sudut pandang pajak.
Tapi isinya --jujur, aku perlu mengumpulkan niat kuat untuk membaca buku tebal ini-- sebenarnya jauh dari sekadar hitung-hitungan tarif pajak. Ia juga bukan sekadar kumpulan pasal monoton nan njlimet, yang memberi beban di kelopak mata kala dibaca. 😴
Ini buku tentang mimpi. Juga refleksi. Tentang bagaimana pajak sujatinya adalah darah peradaban, meski sering dianggap musuh kebebasan.
Oh iya!
Dalam buku ini, penulis yakni Pak Gatot Subroto kekeuh memakai istilah "Pebayar Pajak", bukan "Pembayar Pajak", apalagi "Wajib Pajak". Menurutnya, istilah "Wajib Pajak" membuat makna jadi sempit, dan rakyat terkesan menjadi bawahannya penguasa. Ada sih haknya, namun tergerus istilah "Wajib Pajak" yang sudah kadung menjadi kop. Ndak heroik! Kalau "Pembayar Pajak", kesannya malah jadi pesuruh, orang suruhan yang diminta membayar pajak. Hanya bertugas membayar, bisa jadi tanpa tahu esensinya apa.
Nah kalau "Pebayar Pajak" menurut penulis adalah padanan yang lebih klop. Sejalan dengan istilah Taxpayer di Amerika, atau Contribuyente di Spanyol. Sebuah predikat membanggakan, tanda ikut berkontribusi, penuh kesadaran membangun negeri. Harapannya? Agar pajak tak dipandang sebagai kewajiban tok, melainkan juga semangat gotong-royong demi majunya roda peradaban.
Dari definisi pokok saja, penulis sudah punya misi filosofis. Berniat menggugat, mengubah dan menggugah persepsi tentang orang yang membayar pajak.
Bagaimana dengan isi lainnya?
Tiap halaman buku ini membuat kita merasa, sang penulis punya harapan besar. Agar pajak dipersepsikan sebagai pendukung peradaban, bukan malah beban kuasa penjajah. Harapan itu mengingatkanku pada ujaran Oliver Wendell Holmes Jr, Hakim Asosiasi Pengadilan Tinggi Amerika Serikat dari 1902 sampai 1932. Kata-kata beliau konon tertulis di atas pintu masuk gedung Internal Revenue Service, Direktorat Jenderal Pajak-nya Amerika Serikat:
“Taxes are the price we pay for civilized society”
Pajak adalah harga yang kita tunaikan demi masyarakat nan beradab. Pembangunan yang merata bukan sekadar cita-cita kemerdekaan. Semua orang mendamba jalanan mulus hingga pelosok Papua, sekolah berfasilitas lengkap di desa terpencil NTT, atau vaksinasi gratis saat pandemi melanda. Pokoknya fasilitas itu biar ala-ala Nordik, lah.
Namun, mengadakan semua itu bukan sulap. Uangnya dari mana? Itu semua, kata penulis, bisa terjadi karena satu hal yang justru sering kita hindari: pajak.
Antara Ideal dan Realitas
Pak Gatot Subroto adalah birokrat yang tahu betul isi dapur Direktorat Jenderal Pajak. Ia tidak bicara pajak sebagai alat pemerasan negara. Saat membaca buku ini, aku sering terkesima. Kadang ia bagai orator sarekat kerja: getol menyuarakan keluh-kesah pegawai di DJP. Kritik tajamnya mulai dari proses bisnis lini terbawah, hingga struktur kuasa organisasi di pusat kepemimpinan. Sementara di halaman lain, ia begitu fasih berbagi pandangan perihal penentuan target, dan tax ratio, dua isu utama di level petinggi negara.
Paham betul di teknis, namun juga lihai berfilosofi pada hal strategis. Rasanya, ia adalah orang yang bisa diajak diskusi perkara permen di loket pelayanan Atambua, hingga helicopter view arah kebijakan bangsa di Senayan. Bahkan di bagian akhir bukunya, penulis getol memperkenalkan konsep Semi-Autonomous Revenue Agencies (SARA). Konsep ini menurutnya akan membawa kebaikan bagi masa depan pajak.
Bagiku, tingkat pemahaman penulis akan pajak di Indonesia menyiratkan dua hal: pertama, damn, ia sangat mengenal DJP. Luar-dalam! Kedua, betapa ia mencoba menggali masa lalu, peduli dan cermat pada masa kini, dan menaruh harapan besar pada masa depan pajak Indonesia. Cintanya pada pajak dan institusi pemungutnya tergambar gamblang, bukan cinta buta obsesif yang seringkali tidak objektif memberi puja-puji. Di atas semua itu, penulis bercerita tentang bagaimana pajak seharusnya bukan hanya menagih, tapi juga membangun kepercayaan.
Buku ini seperti menyodorkan cermin ke wajah kita: “urusan pajak itu bukan sekadar perkara memungut. Ia adalah penjaga peradaban!”
Tapi sayangnya, tidak semua wajah tahan bercermin. Tak semua sanggup mengakui kekurangannya sendiri.
Bukan Soal Pajaknya, Tapi Soal Rasa
Yang menarik: buku ini tidak melulu jatuh ke dalam perangkap teknokratisme. Ia bicara soal kepercayaan. Soal psikologi wajib pajak. Soal rasa keadilan. Bahwa bagi penulis, pajak itu bukan cuma urusan fiskal. Ia urusan relasi antara rakyat dan negara.
Kalau rakyat merasa negara hanya hadir saat menagih, maka jangan salahkan kalau kepatuhan jadi formalitas.
Inilah mengapa buku ini berharga: karena ia membumikan pajak. Ia mengingatkan kita bahwa “duty to pay tax” seharusnya lahir dari rasa memiliki. Bukan sekadar karena takut diperiksa, atau demi sajian data yang rapi dan wangi.
Kritik Kecil: Terlalu Serius di Beberapa Titik
Namun, jangan berharap gaya buku ini seluwes tulisannya Chatib Basri di Kompas. Atau seceria esai Dahlan Iskan yang bisa bahas teknologi sambil menyelipkan cerita naik bus malam di Turki.
Beberapa bagian terasa seperti kuliah umum empat SKS, di jam terakhir sebelum rehat makan siang: berat, berulang, dan agak filosofis.
Misalnya, saat menjelaskan mengapa pajak itu penting bagi peradaban, pembaca awam mungkin mengharapkan kisah konkret, bukan kutipan teori fiskal dari tahun 1960-an.
Tapi, hey... ini kan buku DDTC, bukan novel politik ekonomi 😁. Sah-sah saja.
Buku ini seru dibaca untuk...
Orang-dalam DJP, konsultan, pemerhati pajak? Boleh jadi wajib baca.
Pembuat kebijakan, penentu arah negeri? Wajib menyelami.
Nah, Kalau warga biasa gemana? Buku ini akan tetap menarik, asal dalam hati pernah bertanya, “Kenapa sih pajak dan peradaban kita gini-gini aja?”
Buku ini tidak menawarkan semua jawaban. Tapi ia melemparkan pertanyaan-pertanyaan penting (yang sering kali nakal nan tajam). Setelah itu, ia memancing pertanyaan (kritis) lain di kepala pembacanya. Saat kita hidup di era AI yang serba instan, pertanyaan yang baik sering lebih berharga daripada jawaban yang cepat, bukan?
* * *
Epilog
Kita sering lupa: pajak bukanlah uang negara. Apalagi uang pribadi pejabat negara. Bukan. Pajak adalah redistribusi kekayaan, gotong-royong dari kantongnya kaum berpunya, mengulur mengurangi beban di pundak si miskin. Demi kesejahteraan bersama, pajak adalah uang rakyat yang dipercayakan ke negara.
Dan kepercayaan, seperti halnya cinta, selayaknya tidak datang dari paksaan.
Buku Pajak dan Pendanaan Peradaban Indonesia --dengan cara yang kadang berat, tapi jujur-- menitipkan pesan: bahwa membangun peradaban dimulai dari bagaimana kita (petugas pengumpul dan rakyat) memperlakukan esensi dan institusi pajak: dengan adil, terbuka, dan manusiawi, atau justru sebaliknya?
Kalau pajak bisa membuat rakyat tak sendirian, dan merasa negara hadir saat dibutuhkan, maka mungkin, kita tak lagi mendengar bisikan, “pajak itu beban nan memberatkan”.
Karena yang berat sebenarnya bukan membayar pajak.
Melainkan melihatnya disia-siakan.
* * *
ditulis sambil bergumam
"kita lihat plang rambu lalu lintas aja,
yang nyata dan demi keamanan,
masih sering melanggar.
Apalagi aturan pajak yang abstrak.
Man...it still the long and winding road...