Hari ini Jumat, 23 Juni 2017, adalah hari yang istimewa.
Aku baru tiba di Jembrana, tempat yang kusebut rumah jam tiga sore tadi. Aku bekerja jauh dari rumah, dan ini adalah hari pertama dari libur panjang Lebaran.
Fuck yeah! Seperti biasa, sebagaimana hari kepulangaku, selalu kusempatkan berjalan-jalan sore dengan Aji di seputaran Taman Kota Negara. Kawan, inilah kegiatan favorit seorang anak perantauan yang jarang bersua dengan kedua orang tuanya. Lakukanlah, tebus ketidakhadiranmu di hari-hari senja orang tua mu.
Sesampai di rumah, Byang berseru, “De… ambil tuh jajan di meja, kotak kertas merah”.
“Heh…” aku berseru keheranan, “tumben beli jajan kotak gini.”
“Pak Yosi yang bawa tadi, pas kalian masih jalan-jalan,” Byang menyahut sembari tetap fokes menyapu, “kan sebentar lagi Lebaran, keluarga Pak Yosi yang muslim ngejot ke kita.”
"Oh," aku tersenyum sembari membuka kotak dan langsung mengunyah kue.
Ngejot, adalah tradisi untuk kami di Desa Dauhwaru, Jembrana. Desa ini adalah tempat para urban, LC, kawasan yang konon dikapling medio 1980 untuk menjadi rumah-rumah. Jadi, tak ada penduduk asli di banjar ku, semua pendatang.
Misalnya ya, Aji adalah seorang penyuluh pertanian Hindu yang berasal dari Tabanan. Pak Barnabas adalah seorang Nasrani dari Desa Palasari. Ada Pak Afrizal, seorang Padang tulen yang jadi guru biologiku, hingga Pak Yossi seorang Muslim Jawa yang punya studio musik dan masih banyak lagi. Bhinneka Tunggal Ika Dauhwaru, berbeda-beda tapi tetap satu Dauhwaru, haha!
Oke, kembali ke tradisi ngejot.
Sambil kugigit-gigit kue bolu berlapis coklat jotan, pikiranku melayang-layang. Terbang ke liburanku beberapa bulan lalu saat hari raya Galungan sebelumnya.
Oh yeah, karena Galungan adalah hari raya Hindu, jadi keluarga kami ngejot ke rumah Pak Yosi, empat bulan lalu. Saat itu lah aku teringat, sadar akan hebatnya warisan para pendahulu kita lewat cara sederhana.
Masih mau lanjut cerita tentang ngejot?
* * *
Kejadian ini terjadi beberapa bulan sebelum libur Lebaran, tepatnya dua hari menjelang Galungan di awal tahun, Byang sedang berkacak pinggang melihat aku dan Aji pulang kelewat sore habis jalan-jalan seperti biasa.
“Duh! Sudah tak bilang cepetin pulang,” ujar Beliau bersungut-sungut, “kan dah janji mau anterin Byang ngejot ke rumah Pak Yosi…” Aku pun terkekeh kecil. Sebenarnya sedari siang Byang sudah mem-booking-ku. Segera kuganti baju dan kuambil motor. Jam menunjukkan pukul enam lewat dua belas menit, mentari sudah bersiap pulang ke peraduan.
“Yuk, naik motor, Byang”.
Kupacu motor pelan, dengan Byang di belakang membawa kresek merah berisi kotak makanan. Harus sepelan mungkin karena Byang suka histeris berseru “HATI HATI DEE ADA PEREMPATAN!!!” meski itu hanyalah perempatan sepi jalan desa dan lagi jaraknya masih 75 meter.
Sayangnya, Pak Yosi sekeluarga sedang tak ada di tempat.
“Sepi, Byang, mobilnya ndak ada. Jangan-jangan ke Buleleng. Besok aja ya?” ujarku memberi alasan. Sebagai anak muda gaul yang jarang pulang, jam tujuh nanti aku sedianya nongkrong membicarakan hal-hal maha tidak penting dengan konco-konco lawas.
Byang merenggut, gusar. “Ndak! Nanti setengah jam lagi kesini, harus!”
Aku pun bersiap memutar motor, dan kembali ke rumah. Byang duduk kembali di sadel belakang. Cukup heran dengan tekad Beliau, bersikeras.
“Ngejot itu, De, sudah tradisi,” ujar Byang padaku yang sedang konsentrasi mengendarai motor, menghindari undur-undur senja yang suka menyerang mata. “Tradisi lama sekali, entah siapa yang memulai. Tiap Nyepi atau Galungan
-pokoknya musti dapet- kita yang Hindu suguhin makanan ke tetangga lain, Pak Afrizal, Pak Yossi, gitu. Dan kalau Natal, Lebaran, giliran mereka.”
Aku terdiam mendengar Byang mendadak berpidato di atas motor.
“Manusia itu semua bersaudara,” Beliau melanjutkan, “saat hari raya kita bersuka cita, tentu ada makanan, kan. Kewajiban kita untuk membagi kebahagiaan dengan saudara sesama ciptaan Yang Esa ini, meski cuma dalam bentuk makanan.”
“Oh, jangan lihat nilai makanannya, De, sekali-kalipun jangan, itu cuma sarana. Lihat niatnya, niat untuk menjaga tali persaudaraan. Leluhur kita di Bali sejak dahulu memanggil leluhur Pak Yosi, Pak Afrizal yang pendatang sebagai ‘nyame selam’, nyame artinya saudara, selam itu pelafalan lidah kita mengucapkan “Islam”, artinya saudara kita yang beragama Islam.”
“Jaga tradisi ngejot ini, De,” ujar Byang melihat rumahku sudah dekat. “Tradisinya turun-temurun sampai Byang dan Aji, jangan sampai putus di generasi kamu.”
Aku mengangguk.
Rebah di sofa, kusetel televisi, tapi pikiranku sama sekali tak tertuju ke layar kaca. Aku terngiang kata-kata Byang. Hmm ngejot ya. Ngejot masih punya arti lebih luas dari ini, dan aku punya kisah lain, kali ini setting-nya saat libur Lebaran telah usai. Hari itu Sabtu, keesokan harinya aku harus kembali naik pesawat berangkat bekerja, dan malam sebelumnya aku ada bersua dengan kawan lama di kota Denpasar.
* * *
Aku sedang duduk di Kedai Susu Nyonyo (sebuah nama yang kurang senonoh, haha. Tapi fuckin lucu!).
“Sebentar lagi kami sampai, Wo, Awan baru selesai mandi,”
begitu bunyi BBM yang kubaca.
“Milkshake stroberi sama kue cubit Kit-Kat satu ya, Bro,” pesanku pada pramusaji yang menatapku curiga, seakan penuh tanya, sedang apa di sini, seorang lelaki malam mingguan duduk sendirian di kafe, oh kasihan.
Sahabatku itu adalah Mba Nata dan Awan, dari kantorku yang lama. Mereka berdua sedang ada di Bali, mempersiapkan tetek-bengek hari bahagia mereka yang direncanakan berlangsung bulan September. Kebetulan esok pesawat akan membawaku kembali ke Bandara Komodo, Labuan Bajo, jadi kusempatkan bersua dengan mereka sejenak.
Dan voilaaaa, mereka datang!
“Kamu gemukan, Wo,” sapa mereka, kompak. Sebuah sapaan yang sangat kubenci akhir-akhir ini. Kami pun bahkan mengambil beberapa selfie (kutolak menyebutnya swa-foto karena selain janggal juga kepanjangan), dan obrolan pun mengalir seperti air. Crocosan.
|
"... kumpul teman lama..." |
Sebagaimana orang yang baru mengenal Hindu dan Bali, kami sampai di topik wajib nan seru: LEAK dan hal supranatural! Bali oh Bali. Kulihat air muka Mba Nata datar saja, setengah bingung malah. Mungkin karena hal ini adalah baru baginya.
Aku teringat pada kalimat ini,
“Ketahulah suatu ajaran, langsung dari lidah orang yang mencintainya, biar tidak sesat dan disesatkan!”
Itu diucapkan oleh K.H. Zainuddin MZ di radio saat aku kecil. Nah kini, kewajiban ku sebagai orang Bali untuk mengenalkan ini pada Mba Nata.
“Mba pernah lihat, nggak, ibunya Awan tiap pagi habis masak nasi buat sesajian kecil, kan?” tanyaku memantik diskusi.
“Iya, Wo, hehe aku lihat,” sahut Mba Nata sambil mengunyah kue. “Daun pisang dipotong kecil, diisi nasi dan lauk sedikit. Ditaruh di mana-mana, Wo,” dari halaman sampai tempat beras.
“Itu, Mba Nata, namanya banten jotan, alias ngejot.” Nah, bertemu kata ngejot lagi, kata unik yang seminggu lalu jadi topik antara aku dan Byang muncul lagi di episode Mba Nata.
“Ini ceritanya agak panjang Mba, berakar ke salah satu ajaran Hindu Bali yang paling dasar,” ujarku sok teoritis sambil menyeruput milkshake stroberi, “ namanya TRI HITA KARANA, tiga penyebab kebahagiaan. Kebahagiaan menurut kami baru bisa diwujudkan bila tiga hal kami lakukan.”
Mba Nata memperhatikan, “lanjut, Wo…”
“Apa saja komponennya? Yang pertama, PARAHYANGAN, menjalin hubungan harmonis dengan Sang Pencipta. Yah, semua orang juga sudah tahu, sembahyang, memuja-memuji Sang Pencipta dengan apapun kita menyebutnya adalah kewajiban.”
“Kedua, PAWONGAN, Mba… Wong berarti orang. Wayang wong, artinya kan wayang orang,” aku sok nyambung. “Ini berarti kita harus menjalin hubungan harmonis dengan sesama manusia. Sesama manusia lho Mba ya, ga disebut hanya dengan manusia seiman, sesuku, sepulau, senegara. Tidak, pokoknya sesama semua manusia. Titik.”
“Terakhir, PALEMAHAN. Artinya menjalin hubungan harmonis dengan lingkungan.” Aku menghentikan wejanganku, dan menunggu reaksi.
Mba Nata berdehem, “Iya bener…”
“Sayangnya, Mba, belum selesai sampai di situ,” aku tersenyum jahil. “Pawongan berarti lingkungan, yang kasat dan tidak kasat mata. Leluhur di Bali silam membuat pura di Tanah Lot pesisir, Besakih di gunung Agung, menyaputi pohon besar dengan kain hitam-putih bermakna biar kita -sadar atau tidak- menjaga kelestarian alam. Gemana berani nebang pohon besar?
"Itu palemahan yang kasat mata. Lalu bagaimana dengan yang tidak?”
“Bhuta Kala itu saudara kita juga, saudara tak kasat mata yang juga ciptaan Sang Pencipta.” Mendengar pernyataanku, alis Mba Nata terangkat sedikit, “oh iya. Jelas.” Tukasku senyum, “siapa lagi donk yang menciptakan makhluk-makhluk selain Sang Pencipta itu sendiri?”
“Mba lihat itu kain hitam putih di Bali, punya makna yang sama dengan Yin Yang, sama-sama hitam putih?”
|
"... yin yang..." |
"Coba lihat yin yang. Dalam setiap putih, ada hitam. Dalam setiap hitam, ada putih. Keduanya bukan berseberangan, melainkan saling melengkapi menjadi satu. Itulah isi dunia, Rwa Binedha, dua dunia yang saling melengkapi.”
“Lalu apa kaitannya dengan ngejot, Wo?” tanya Mba Nata, khwatir aku makin jauh dari tema.
“Justru, Mba, mereka berkaitan banget," aku tersenyum. "Saat kita berhari-raya merayakan Parahyangan, tak lupa Pawongan juga kami laksanakan dengan ngejot tetangga. Selain sembahyang, juga ngejot, berbagi kebahagiaan dengan sesama manusia. Di kampung saya tradisi itu masih berjalan, tradisi ngejot. Jangankan tetangga sesama manusia (palemahan). Yang tak kasat mata (palemahan) juga kami berusaha menjalin hubungan yang harmonis.”
“Begitu pula dengan Palemahan, Mba. Contohnya, saat Ibu Awan selesai memasak, ia memiliki nasi dan lauk. Kami sisihkan sedikit. Sedikit sekali. Tapi jangan lihat nilainya kan, sebagaimana ngejot pada tetangga. Kami buat banten ngejot, memberi sedikit kelebihan yang kami punya kepada makhluk tak kasat mata, tapi yang kami percayai ada dan sama-sama diciptakan-Nya.”
“Konsep ini, Mba, penting di Bali. Ngejot baik kepada tetangga beda agama berupa kue kotak, juga kepada makhluk tak kasat mata berupa sejumput nasi dan wangi-wangi bukanlah simbol takluk. Bukan pula simbol kami memohon sesuatu. Ingat makna Tri Hita Karana, menjalin hubungan harmonis, bukan?
Mba Nata tersenyum.
“Karena kita semua bertetangga, dan bersaudara.” lanjutku. “Mba, saya, Hugo Chavez, cabe-cabean yang sedang selfi di sebelah kita ini, bule yang lagi santai di Kuta, sapi di sungai, pohon di seberang jalan itu, sampai makhluk halus yang mungkin sedang nongkrong di pohon itu, sama-sama tetangga di Bhuana Agung, sama punya satu ibu Pertiwi, dan satu Bapak Akasa, salah satu persona kami pada Sang Pencipta.”
“… dan ngejot adalah salah satu cara kita ingat tentang tali persaudaraan itu."
"Bali unik ya?” ujarku menutup cerita malam itu.
* * *
Demikian dua cukilan kisahku di hari libur kemarin. Ahh… Berlebaran di Jembrana memang selalu berkesan di hati. Oh iya, akhirnya malam itu aku dan Byang sukses bertemu Pak Yosi sekeluarga, dan kami bercerita, tertawa bersama, merasakan hangatnya kekeluargaan.
Saat Lebaran, seperti biasa aku menghabiskan waktu dengan para handai taulan, Ujang, Yugo, Jebret, PG, Febi, hingga Maha, Cunguh, Adit, Widya, Bojes di Denpasar, dan banyak lainnya. Jarang bertemu, membuat kami malah semakin erat.
Kampung halaman selalu membawa cerita, tentang hangatnya rasa bersaudara. Sampai bersua lagi di kesempatan berikutnya, kawan, Jembrana, Bali...