"Heh? Vokalis Linkin Park yang itu bunuh diri? Padahal musiknya termasuk bisa kunikmati, lho Wo..."

Begitu ujar Bli Made, rekan kamarku pagi ini begitu mendengar kabar terbaru Chester Bennington. Kami sedang bersiap berdinas, jadi kami bersiap dari kamar hostel.

Mengejutkan memang, kulihat banyak teman di dunia maya mengekspresikan kesedihannya. Bli Made bukanlah pecinta musik banget, apalagi tipe-tipe distorsi. Namun apa yang ia katakan bisa jadi mewakili ruang dengar banyak orang.

Chester memasyarakatkan metal, dan memetalkan masyarakat.
Itu sahih, my brader!

Musik metal yang awalnya sekadar didengar sekelompok anak berbaju hitam di kamar gelap dengan potongan kepala kelelawar dekat poster Black Sabbath, kini muncul di MTV. Mendominasi!

Yeah.. suka atau tidak, Linkin Park bisa sebesar sekarang mungkin karena ia menandai (dan memprovokasi) suatu perubahan jaman. Apalagi bagi generasiku, yang tumbuh di tahun 90an, saat musik mainstream sedang -duh Gusti- menjemukan.
* * *

Alkisah, pada awal jaman, generasi rapi klimis Inggris ala Mods menguasai dunia. Pasukan tampan ini dipimpin McCartney dan Lennon. Musiknya manis, mengenalkan dunia pada konsep hiburan baru: grup band. Konsep baru ini membawa semangat muda yang menyegarkan.

Tahta musik mainstream dunia dilanjutkan oleh generasi begajulan: rambut gondrong, pakaian serampangan ala Deep Purple, Rolling Stone dan lainnya. Musiknya menghentak, mengenalkan dunia pada distorsi, bahwa musik berisik juga asik. Rock and roll, baby.

Semangat terus berlanjut. Guns n Roses, Jovi, dengan grup seangkatannya yang penuh lateks dan kenakalan giliran mewarnai dunia, boombox, dan dinding para muda. Motto Sex, Drugs and Rock n Roll berjaya kala itu.
Namun, yah tak berlangsung lama.

Dunia musik mengajarkan, bahwa tak ada hegemoni yang abadi. Kegarangan melodi gitar Slash, ingar-bingar glamour Axl pun dirabas seorang anak muda berkemeja flanel dengan kemampuan gitar ala kadarnya, namun jadi diri dan semangat membara garang. Namanya Kurt Cobain.

Saat itulah, kira-kira aku baru lahir.

Kurt tak lama menjadi pangeran, mungkin karena motto terkenal "I hate myself and I want to die..." yang ternyata ia realisasikan. Begitulah, Kurt bunuh diri membawa mahkota musik dunia bersamanya.

Apa kabar dengan tampuk kepemimpinan musik dunia di 90an?

Ndak jelas!

Sebagai pencinta musisi yang benar-benar memainkan instrumen, menjelang millenium 2000 adalah era suram permusikan (dan perfilman) dunia. The Moffats, Hansons, mungkin pengecualian. Tapi sebagaimana Greenday, mereka belumlah bisa disebut penguasa dunia. Dunia malah dikuasai sekelompok pemuda-pemudi tanpa instrumen yang lagunya diciptakan produser dan berjoged di MTV.

Dari Boyzone sampai Spice Girl, Blue sampai F4, dari Britney Hit Me Baby sampai Britney I Am Slave... lol...

Saat itulah, kawanku, tepatnya circa 2002, pemberontakan meletus!

Mungkin dunia sedang butuh yang nakal, yang ndak manis-manis ala Fool Again-nya Westlife.

Dipimpin oleh Linkin Park, distorsi kembali naik kelir panggung. Seriously, bahkan Declaration of Revolution bertitel In The End itu masih terhapal sempurna di benak umat, belasan tahun kemudian terutama di section comment 9gag.

... It started with... (one thing... I don't know why...)

Linkin Park membawa aliran (yang oleh majalah dilabeli) Nu Metal, alias industrial metal. Bumbu pokoknya DJ, rapper dan tukang teriak. Boyband pun tergelincir dari tampuk kekuasaan musik dunia, alhamdullilah ya, digantikan generasi Blink, Linkin, dan Greenday yang mulai merangkak ke permukaan. Rock show!

Crawling, In The End, Pappercut, sampai My December mengawal tumbuh kembangku menutup masa SD 6 Dauhwaru. Aku bahkan meminjam kaset tape Hybrid Theory dari Rahtu, adik kelas yang lebih berada. Bahkan kuingat baju kelas kakakku XII IPA di Smansa Negara bergambar malaikat maut dengan sabit dan sayap capung.

Kurang rebel gemana coba, jaman itu...

Revolusi yang diletup Chester dkk itu masih terasa gelombangnya. Korn, Bullet, Avenged, dan bergenerasi adik-adik Chester Bennington dari beragam aliran distorsi melenggang, melanjutkan obor yang dinyalakan kembali itu. Linkin adalah pemantik api obor itu, meski bagaimanapun musiknya sekarang.

Jujur aku sudah tak mendengarkan mereka lagi sejak sekian lama. Tapi toh saat ini aku tetap merasa kehilangan, mendengar salah satu rebel itu meninggal pagi ini.

Kehilangan seorang yang memasyarakatkan musik metal, menghadirkan metal ke ruang dengar lebih luas. Seseorang yang merabas boyband-boyband berambut belah tengah, seseorang yang mengembalikan gitar bass drum kembali ke panggung.

Terima kasih atas kenangannya, Chester.

Teriakanmu akan senantiasa terkenang, bergema di hati angkatan kami. Terima kasih telah menjadi pengubah jaman. Kau tau, Chester, duh, kini keadaan tak jauh beda. Panggung musik dunia kini dikuasai alat elektronik. Jedug-jedug suara DJ. Di Jembrana, di sekolah, anak band entah kemana, parade-festival band yang dulu tiap minggu kini entah tiada... Di manakah, pemberontak, engkau bersembunyi?

Menanti titisanmu, Chester, generasi awatara baru, yang mengembalikan musik kembali ke alat-alat yang dimainkan tangan dan hati manusia. Band!

Bukankah ini penting? Dan perasaanku membunuhku!

I am a true believer.

(Jumat, 21 Juli 2017. Labuan Bajo)

Liburan paling panjang dalam setahun itu berakhir... banyak cerita, cinta, keluarga yang luar biasa. Jembrana selalu membawa cerita...

Sampai jumpa lagi, hometown! ✈🏠


"JungWah kegirangan melihat cerobong Gosha... dikira kereta api... 😝"


"bersama PG, memberi wejangan ke Jegeg Bagus Jembrana..."

"... dilanjutkan ritual tahunan: halal bihalal di rumah Ujang"

"bersama gank perantau menuju Bukit JR membahas topik: Jodoh PG! 💖"

"Bukit JR: menenangkan nan menyamankan"

"rencana nongkrong berubah menjadi menungguku cukur. Lokasi: barber Gus Vicky"

"menunggu bus. Lokasi: Taman Kota Negara"

"Habis menangis melihat Jidek, terbitlah ceria bersama Jidek"

"obrolan pra-marital"

"liburan berakhir... Lokasi: ruang udara Labuan Bajo"

Hari ini Jumat, 23 Juni 2017, adalah hari yang istimewa.

Aku baru tiba di Jembrana, tempat yang kusebut rumah jam tiga sore tadi. Aku bekerja jauh dari rumah, dan ini adalah hari pertama dari libur panjang Lebaran. Fuck yeah! Seperti biasa, sebagaimana hari kepulangaku, selalu kusempatkan berjalan-jalan sore dengan Aji di seputaran Taman Kota Negara. Kawan, inilah kegiatan favorit seorang anak perantauan yang jarang bersua dengan kedua orang tuanya. Lakukanlah, tebus ketidakhadiranmu di hari-hari senja orang tua mu.

Sesampai di rumah, Byang berseru, “De… ambil tuh jajan di meja, kotak kertas merah”.
“Heh…” aku berseru keheranan, “tumben beli jajan kotak gini.”
“Pak Yosi yang bawa tadi, pas kalian masih jalan-jalan,” Byang menyahut sembari tetap fokes menyapu, “kan sebentar lagi Lebaran, keluarga Pak Yosi yang muslim ngejot ke kita.”

"Oh," aku tersenyum sembari membuka kotak dan langsung mengunyah kue.

Ngejot, adalah tradisi untuk kami di Desa Dauhwaru, Jembrana. Desa ini adalah tempat para urban, LC, kawasan yang konon dikapling medio 1980 untuk menjadi rumah-rumah. Jadi, tak ada penduduk asli di banjar ku, semua pendatang.

Misalnya ya, Aji adalah seorang penyuluh pertanian Hindu yang berasal dari Tabanan. Pak Barnabas adalah seorang Nasrani dari Desa Palasari. Ada Pak Afrizal, seorang Padang tulen yang jadi guru biologiku, hingga Pak Yossi seorang Muslim Jawa yang punya studio musik dan masih banyak lagi. Bhinneka Tunggal Ika Dauhwaru, berbeda-beda tapi tetap satu Dauhwaru, haha!

Oke, kembali ke tradisi ngejot.

Sambil kugigit-gigit kue bolu berlapis coklat jotan, pikiranku melayang-layang. Terbang ke liburanku beberapa bulan lalu saat hari raya Galungan sebelumnya. Oh yeah, karena Galungan adalah hari raya Hindu, jadi keluarga kami ngejot ke rumah Pak Yosi, empat bulan lalu. Saat itu lah aku teringat, sadar akan hebatnya warisan para pendahulu kita lewat cara sederhana.

Masih mau lanjut cerita tentang ngejot?
*  *  *

Kejadian ini terjadi beberapa bulan sebelum libur Lebaran, tepatnya dua hari menjelang Galungan di awal tahun, Byang sedang berkacak pinggang melihat aku dan Aji pulang kelewat sore habis jalan-jalan seperti biasa.

“Duh! Sudah tak bilang cepetin pulang,” ujar Beliau bersungut-sungut, “kan dah janji mau anterin Byang ngejot ke rumah Pak Yosi…” Aku pun terkekeh kecil. Sebenarnya sedari siang Byang sudah mem-booking-ku. Segera kuganti baju dan kuambil motor. Jam menunjukkan pukul enam lewat dua belas menit, mentari sudah bersiap pulang ke peraduan.

“Yuk, naik motor, Byang”.

Kupacu motor pelan, dengan Byang di belakang membawa kresek merah berisi kotak makanan. Harus sepelan mungkin karena Byang suka histeris berseru “HATI HATI DEE ADA PEREMPATAN!!!” meski itu hanyalah perempatan sepi jalan desa dan lagi jaraknya masih 75 meter.

Sayangnya, Pak Yosi sekeluarga sedang tak ada di tempat.

“Sepi, Byang, mobilnya ndak ada. Jangan-jangan ke Buleleng. Besok aja ya?” ujarku memberi alasan. Sebagai anak muda gaul yang jarang pulang, jam tujuh nanti aku sedianya nongkrong membicarakan hal-hal maha tidak penting dengan konco-konco lawas.

Byang merenggut, gusar. “Ndak! Nanti setengah jam lagi kesini, harus!”

Aku pun bersiap memutar motor, dan kembali ke rumah. Byang duduk kembali di sadel belakang. Cukup heran dengan tekad Beliau, bersikeras.

“Ngejot itu, De, sudah tradisi,” ujar Byang padaku yang sedang konsentrasi mengendarai motor, menghindari undur-undur senja yang suka menyerang mata. “Tradisi lama sekali, entah siapa yang memulai. Tiap Nyepi atau Galungan -pokoknya musti dapet- kita yang Hindu suguhin makanan ke tetangga lain, Pak Afrizal, Pak Yossi, gitu. Dan kalau Natal, Lebaran, giliran mereka.”

Aku terdiam mendengar Byang mendadak berpidato di atas motor.

“Manusia itu semua bersaudara,” Beliau melanjutkan, “saat hari raya kita bersuka cita, tentu ada makanan, kan. Kewajiban kita untuk membagi kebahagiaan dengan saudara sesama ciptaan Yang Esa ini, meski cuma dalam bentuk makanan.”

“Oh, jangan lihat nilai makanannya, De, sekali-kalipun jangan, itu cuma sarana. Lihat niatnya, niat untuk menjaga tali persaudaraan. Leluhur kita di Bali sejak dahulu memanggil leluhur Pak Yosi, Pak Afrizal yang pendatang sebagai ‘nyame selam’, nyame artinya saudara, selam itu pelafalan lidah kita mengucapkan “Islam”, artinya saudara kita yang beragama Islam.”

“Jaga tradisi ngejot ini, De,” ujar Byang melihat rumahku sudah dekat. “Tradisinya turun-temurun sampai Byang dan Aji, jangan sampai putus di generasi kamu.”

Aku mengangguk.

Rebah di sofa, kusetel televisi, tapi pikiranku sama sekali tak tertuju ke layar kaca. Aku terngiang kata-kata Byang. Hmm ngejot ya. Ngejot masih punya arti lebih luas dari ini, dan aku punya kisah lain, kali ini setting-nya saat libur Lebaran telah usai. Hari itu Sabtu, keesokan harinya aku harus kembali naik pesawat berangkat bekerja, dan malam sebelumnya aku ada bersua dengan kawan lama di kota Denpasar.
*  *  *

Aku sedang duduk di Kedai Susu Nyonyo (sebuah nama yang kurang senonoh, haha. Tapi fuckin lucu!).

“Sebentar lagi kami sampai, Wo, Awan baru selesai mandi,”

begitu bunyi BBM yang kubaca.

“Milkshake stroberi sama kue cubit Kit-Kat satu ya, Bro,” pesanku pada pramusaji yang menatapku curiga, seakan penuh tanya, sedang apa di sini, seorang lelaki malam mingguan duduk sendirian di kafe, oh kasihan.

Sahabatku itu adalah Mba Nata dan Awan, dari kantorku yang lama. Mereka berdua sedang ada di Bali, mempersiapkan tetek-bengek hari bahagia mereka yang direncanakan berlangsung bulan September. Kebetulan esok pesawat akan membawaku kembali ke Bandara Komodo, Labuan Bajo, jadi kusempatkan bersua dengan mereka sejenak.

Dan voilaaaa, mereka datang!

“Kamu gemukan, Wo,” sapa mereka, kompak. Sebuah sapaan yang sangat kubenci akhir-akhir ini. Kami pun bahkan mengambil beberapa selfie (kutolak menyebutnya swa-foto karena selain janggal juga kepanjangan), dan obrolan pun mengalir seperti air. Crocosan.

"... kumpul teman lama..."

Sebagaimana orang yang baru mengenal Hindu dan Bali, kami sampai di topik wajib nan seru: LEAK dan hal supranatural! Bali oh Bali. Kulihat air muka Mba Nata datar saja, setengah bingung malah. Mungkin karena hal ini adalah baru baginya.

Aku teringat pada kalimat ini,
“Ketahulah suatu ajaran, langsung dari lidah orang yang mencintainya, biar tidak sesat dan disesatkan!” 
Itu diucapkan oleh K.H. Zainuddin MZ di radio saat aku kecil. Nah kini, kewajiban ku sebagai orang Bali untuk mengenalkan ini pada Mba Nata.

“Mba pernah lihat, nggak, ibunya Awan tiap pagi habis masak nasi buat sesajian kecil, kan?” tanyaku memantik diskusi.

“Iya, Wo, hehe aku lihat,” sahut Mba Nata sambil mengunyah kue. “Daun pisang dipotong kecil, diisi nasi dan lauk sedikit. Ditaruh di mana-mana, Wo,” dari halaman sampai tempat beras.

“Itu, Mba Nata, namanya banten jotan, alias ngejot.” Nah, bertemu kata ngejot lagi, kata unik yang seminggu lalu jadi topik antara aku dan Byang muncul lagi di episode Mba Nata.

“Ini ceritanya agak panjang Mba, berakar ke salah satu ajaran Hindu Bali yang paling dasar,” ujarku sok teoritis sambil menyeruput milkshake stroberi, “ namanya TRI HITA KARANA, tiga penyebab kebahagiaan. Kebahagiaan menurut kami baru bisa diwujudkan bila tiga hal kami lakukan.”
Mba Nata memperhatikan, “lanjut, Wo…”

“Apa saja komponennya? Yang pertama, PARAHYANGAN, menjalin hubungan harmonis dengan Sang Pencipta. Yah, semua orang juga sudah tahu, sembahyang, memuja-memuji Sang Pencipta dengan apapun kita menyebutnya adalah kewajiban.”

“Kedua, PAWONGAN, Mba… Wong berarti orang. Wayang wong, artinya kan wayang orang,” aku sok nyambung. “Ini berarti kita harus menjalin hubungan harmonis dengan sesama manusia. Sesama manusia lho Mba ya, ga disebut hanya dengan manusia seiman, sesuku, sepulau, senegara. Tidak, pokoknya sesama semua manusia. Titik.”

“Terakhir, PALEMAHAN. Artinya menjalin hubungan harmonis dengan lingkungan.” Aku menghentikan wejanganku, dan menunggu reaksi.

Mba Nata berdehem, “Iya bener…”

“Sayangnya, Mba, belum selesai sampai di situ,” aku tersenyum jahil. “Pawongan berarti lingkungan, yang kasat dan tidak kasat mata. Leluhur di Bali silam membuat pura di Tanah Lot pesisir, Besakih di gunung Agung, menyaputi pohon besar dengan kain hitam-putih bermakna biar kita -sadar atau tidak- menjaga kelestarian alam. Gemana berani nebang pohon besar?

"Itu palemahan yang kasat mata. Lalu bagaimana dengan yang tidak?”

“Bhuta Kala itu saudara kita juga, saudara tak kasat mata yang juga ciptaan Sang Pencipta.” Mendengar pernyataanku, alis Mba Nata terangkat sedikit, “oh iya. Jelas.” Tukasku senyum, “siapa lagi donk yang menciptakan makhluk-makhluk selain Sang Pencipta itu sendiri?”

“Mba lihat itu kain hitam putih di Bali, punya makna yang sama dengan Yin Yang, sama-sama hitam putih?”
"... yin yang..."

"Coba lihat yin yang. Dalam setiap putih, ada hitam. Dalam setiap hitam, ada putih. Keduanya bukan berseberangan, melainkan saling melengkapi menjadi satu. Itulah isi dunia, Rwa Binedha, dua dunia yang saling melengkapi.”

“Lalu apa kaitannya dengan ngejot, Wo?” tanya Mba Nata, khwatir aku makin jauh dari tema.

“Justru, Mba, mereka berkaitan banget," aku tersenyum. "Saat kita berhari-raya merayakan Parahyangan, tak lupa Pawongan juga kami laksanakan dengan ngejot tetangga. Selain sembahyang, juga ngejot, berbagi kebahagiaan dengan sesama manusia. Di kampung saya tradisi itu masih berjalan, tradisi ngejot. Jangankan tetangga sesama manusia (palemahan). Yang tak kasat mata (palemahan) juga kami berusaha menjalin hubungan yang harmonis.”

“Begitu pula dengan Palemahan, Mba. Contohnya, saat Ibu Awan selesai memasak, ia memiliki nasi dan lauk. Kami sisihkan sedikit. Sedikit sekali. Tapi jangan lihat nilainya kan, sebagaimana ngejot pada tetangga. Kami buat banten ngejot, memberi sedikit kelebihan yang kami punya kepada makhluk tak kasat mata, tapi yang kami percayai ada dan sama-sama diciptakan-Nya.”

“Konsep ini, Mba, penting di Bali. Ngejot baik kepada tetangga beda agama berupa kue kotak, juga kepada makhluk tak kasat mata berupa sejumput nasi dan wangi-wangi bukanlah simbol takluk. Bukan pula simbol kami memohon sesuatu. Ingat makna Tri Hita Karana, menjalin hubungan harmonis, bukan?

Mba Nata tersenyum.

“Karena kita semua bertetangga, dan bersaudara.” lanjutku. “Mba, saya, Hugo Chavez, cabe-cabean yang sedang selfi di sebelah kita ini, bule yang lagi santai di Kuta, sapi di sungai, pohon di seberang jalan itu, sampai makhluk halus yang mungkin sedang nongkrong di pohon itu, sama-sama tetangga di Bhuana Agung, sama punya satu ibu Pertiwi, dan satu Bapak Akasa, salah satu persona kami pada Sang Pencipta.”

“… dan ngejot adalah salah satu cara kita ingat tentang tali persaudaraan itu."

"Bali unik ya?” ujarku menutup cerita malam itu.
*  *  *

Demikian dua cukilan kisahku di hari libur kemarin. Ahh… Berlebaran di Jembrana memang selalu berkesan di hati. Oh iya, akhirnya malam itu aku dan Byang sukses bertemu Pak Yosi sekeluarga, dan kami bercerita, tertawa bersama, merasakan hangatnya kekeluargaan.

Saat Lebaran, seperti biasa aku menghabiskan waktu dengan para handai taulan, Ujang, Yugo, Jebret, PG, Febi, hingga Maha, Cunguh, Adit, Widya, Bojes di Denpasar, dan banyak lainnya. Jarang bertemu, membuat kami malah semakin erat.

Kampung halaman selalu membawa cerita, tentang hangatnya rasa bersaudara. Sampai bersua lagi di kesempatan berikutnya, kawan, Jembrana, Bali...



Membahas Bung Karno tidak akan selesai hanya dengan sebuah artikel blogspot. Itu pelecehan namanya! Membaca perihal beliau juga mustahil hanya dari sebuah buku, apalagi buku itu terbitan jaman orde baru. Soekarno terlalu kompleks!

Dari sekian banyak buku tentang pribadi Soekarno, ada satu buku yang jadi raja. Buku autobiografi pertama (dan terakhir?) yang bersumber dari bibir beliau langsung, yang jadi acuan dari setiap penulis tentang Bung Karno pula. Buku hebat langka ini berjudul: "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia". For real, saya punya buku ini, and this is the best book I've ever read! :D

Jangan bayangkan buku ini berisi seribu puja dan puji dari penulis penjilat kepada sang penguasa, seperti buku-buku tentang tokoh pada umumnya. Tidak, kawan. Sama sekali tidak! Penulis buku ini adalah Cindy Adams, dan dari namanya jelas kita tahu, ia bukan orang Indonesia. Keobjektifitasan buku ini tercermin pada bab I, dimana Bung Karno berkata, "buku ini tentu berisi hal bagus tentang ku, agar egoku terpenuhi. Tapi juga harus mengkritik dan menyebutkan kejelekanku, agar orang mau membelinya".  
It's true, mister President!

Membaca buku ini bagai duduk bersila bersama sang proklamator, berdua di teras rumah kala sore hari. Suasananya santai dan sejuk! Bung Karno menyebut dirinya "aku", dan memanggil kita "kau", seolah ini adalah percakapan antara sahabat karib. Dan ia akan bercerita panjang, dari kesukaanya memandang wanita cantik, kesulitannya memilihkan bra untuk istrinya, sampai kesedihannya pada pers negeri paman sam.
teras untuk ngobrol... (?!)

Bagaimana dengan isinya?
Lengkap! Aku disuguhi berbagai cerita menarik. Dari awal orang tua Soekarno bertemu, hingga makna sebenarnya dari "Presiden Seumur Hidup", "Demokrasi Terpimpin" yang sepertinya dipelitir dengan penuh semangat oleh orde baru, agar citra Soekarno jadi maruk, haus kekuasaan, diktator, dan komunis. Bagaimana mungkin ada orang menyebut Soekarno sebagai seorang komunis? Seorang Haji Akbar, yang menangis seperti anak kecil saat berkunjung ke makam Nabi Muhammad adalah seorang komunis? Tentu saja tidak! Dan di sinilah Soekarno bercerita langsung padaku, sang pembaca, mengenai kesalahpahaman yang banyak terjadi sekarang.


Membaca buku ini, kita akan tau, ia orator luarbuasa!
Kadang ia berapi-api, melotot dan menunjuk-nunjuk wajah kita dan berseru lantang :@: "cintai Indonesia yang kuwariskan padamu, Nak! Kau tahu? Demi merdekanya negara ini, aku berpindah-pindah penjara sampai belasan tahun, dan entah berapa percobaan pembunuhan ku alami. Ya, tentu saja Jepang, Belanda, dan para extrimis sangat ingin nyawaku. Jaga warisan ini! Ingat selalu, Nak, NKRI harga mati!" Bung Karno juga lah orang yang berteriak lantang berkata PERSETAN (dan aku jamin, presiden Indonesia sajalah yang menyebut ini di bukunya) kehadapan Amerika yang berniat memberi Indonesia bantuan, tapi dengan syarat mau tunduk pada politik barat.
"...Beri aku sebuah pisang yang berasal dari lubuk hatimu, maka aku akan memujamu selamanya. Tapi berilah aku sejuta dolar, dan bersamaan tampar pipiku ditengah orang ramai, dan akupun berkata padamu -meski nyawa taruhannya- PERSETAN!!!"


Buku ini tidak melulu berisi orasi politik. Justru banyak sisi humanisme sang proklamator yang diangkat disini

Kadang ia bercerita dengan pelan, mengenang masa kecilnya yang begitu miskin. Mengenang bagaimana ia mengintip teman-temannya asyik bermain mercon, dengan perasaan hancur lebur :( (ya, dia bilang perasaannya hancur, karena ia lah satu-satunya anak yang tak mampu membeli mercon). Bergetar suaranya tiap kali berbicara tentang Ibunya. Seorang wanita Bali, Ida Ayu Nyoman Rai yang selalu ia sungkemi setiap pergi, kemanapun. Sejak ia menjadi anak kecil yang menangis melihat sang ibu saat akan pergi merantau sekolah di Surabaya, hingga menjadi Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, seorang Soekarno selalu sungkem pada ibundanya. :$

Ya, dia anak yang berbakti, dan juga sangat cemerlang!
Tahukah kalian, proklamator kitalah presiden dengan gelar doktoral terbanyak di dunia? 26 buah. Dan ini bukan sekedar gelar dari unversitas akreditasi B. Far Eastern University, Manila; Universitas Berlin; Universitas Budapest; Universitas Al Azhar, Kairo; dan universitas lain di Filipina, Amerika Serikat, Kanada, Jerman Barat, Uni Soviet, Yugoslavia, Cekoslovakia, Turki, Polandia, Brazil, Bulgaria, Rumania, Hongaria, RPA, Bolivia, Kamboja, dan Korea Utara :o. Ya, wow! Ini belum termasuk universitas lokal Indonesia. Kawan, Soekarno lebih besar dari pemikiranmu sekarang, karena ia memang dikerdilkan oleh sejarah.


Usia belum genap 16 tahun, Bung Karno sudah membaca karya besar orang-orang besar dunia. Banyak tokoh bapak negara Amerika yang ia kagumi. Di antaranya, Thomas Jefferson dengan Declaration of Independence yang ditulis tahun 1776. Sukarno muda, juga mengkaji gagasan-gagasan George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincoln.

Ia melahap semua ideologi dari berbagai tempat, dari Washington DC hingga Moskow. Itulah yang membuat pemikirannya luas dan terbuka. Ia tahu sisi positif dan negatif dari liberal dan komunis, sehingga tak mau serta merta mencomotnya untuk diterapkan di Indonesia. Kalau tidak begitu, kawan, darimana bisa muncul Pancasila, ideologi tengah itu ;)? Silakan renungi dan rasakan, Pancasila adalah jembatan antara kaum liberalis yang dipimpin George Washington dengan Sosialis yang dikomando Karl Marx. Dua-duanya adalah idola Soekarno, sejak muda.

Terlihat bukan, betapa Soekarno adalah maniak membaca. Kekagumannya pada Nabi Muhammad digambarkan dengan baik pada buku ini. Tat Twam Asi, Gandhi, hingga Swami Vivekananda dari Hindu juga dikutipnya dengan teliti. Cerita dari seorang pastor dari Maluku jadi renungannya tentang kematian kelak di akhir bab. Aku rasa, inilah sebab mengapa seorang Sokarno menjadi orang besar. Ia tak pernah fanatik pada satu ilmu sampai tak sudi membaca ilmu lain. Otak dan jiwanya kaya, dan bebas dari kungkungan batasan ideologi!
* * *

"... aku dipuja bagai dewa, sekaligus dikutuk bagai bandit!"

Ini kutipan asli Bung Karno, dari buku Bung karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sudah banyak desas-desus tentang beliau, baik dari para ahli, maupun dari orang yang "mengaku" ahli. Beliau memang tokoh dengan kelompok pecinta dan pembenci fanatik yang tak pernah surut. Bahkan hingga kini! Satu kelompok memuja ajarannya, satu lagi menghujatnya habis-habisan. itulah Soekarno, tokoh yang tak ada habisnya dikulik.

Saatnya mengklarifikasi hal itu
menggali kontroversinya, dan mencari tahu dari sisi lain, sekaligus menyelami pikiran luarbiasa beliau (tentu pikirannya luarbiasa. Dalam sebuah tulisan saja ia bisa mengutip dan mengacu pada 30 pemikiran tokoh dunia berbeda :x), langsung dari mulut dan hati seorang Soekarno. Telah banyak kita dengar orang bercerita tentang pribadi Soekarno, dan buku ini mengajak kita berbicara tentang Soekarno, langsung dari bibirnya sendiri!
"... Bung Karno Cilik..."

Came on!
Siapapun anda, bila ada semacam daftar 10 buku wajib baca sebelum dunia kiamat, buku ini wajib ada dalam daftar anda! Kenali, sebenarnya Indonesia dicanangkan menjadi apa oleh founding fathers-nya. Yang pasti, negara kepulauan yang luarbiasa indah, kaya, yang moyangnya membangun Borobudur yang tiada duanya ini tidak dicanangkan menjadi budak hutang barat, yang emas dan uraniumnya dicuri Freeport, tanpa perlawanan!