Sebagaimana ujar pujangga-pujangga melayu, dari yang klasik sampai yang kekinian, dari Sutan Takdir Alisjahbana sampai Andrea Hirata, kiranya sepakat akan satu hal: cinta memang membawa bahagia, tapi jangan lupa, banyak juga petaka yang dibuat atas nama cinta.

Tak percaya?

Tengok si Mirah dengan Midun.
Bukan main gelora cinta sejoli ini, sampai-sampai dahulu saat Midun meminang Mirah, ia merelakan delapan ekor sapi kesayangan untuk jadi mahar. Sayang seribu sayang, bulan kemarin Mira tertangkap basah tengah berasyuk-masyuk dengan Todi, pegawai honorer kelurahan. Midun pun gelap mata, dibutakan cinta. Ia tebas itu Todi punya leher, tanpa ba-bi-bu. Ahh… atas nama cinta.

Lain lagi kisah pecinta bola.
Fans tim kaos oranye Jakarta dengan biru Bandung, misalnya. Bukan main mereka fanatik pada kesebelasan masing-masing. Cinta mati! Berkat itu pula, tiap keduanya bertemu, entah di stadion, di parkiran, terminal, bengkel, jalan, pasar senggol, warung tegal Bibi Ainun,  jamak tragedi baku hantam sampai hadang-hadangan bus segala.

Semua karena cinta.

Saking cintanya Hitler pada ras Arya, ia berambisi mencaplok Eropa. Karena cinta pada darah-murni, Voldemort juga membunuhi kaum yang tak sepaham.

Sampai di paragraf ini, kok kesannya cinta begitu mengerikan, ya? Ternyata cinta bisa berujung tindakan ekstrim, dus menjadikan pecandunya berlaku nekat. Anteng saja mereka merasa benar dengan menjadikan kecintaan sebagai dalih.

“Demi cinta, matipun abang rela, matiin orang juga rela,” begitu mungkin tekad Midun dalam hati, bersama penggila bola, Hitler, Voldemort, dan jutaan pecinta-pecinta lain di bumi.

Tak hanya itu saja, Kawan! Masih ada lagi bentuk cinta yang tak kalah rumitnya: cinta pada agama!
Benar, aku sedang bicara tentang hal yang paling sungkan untuk diobrolkan abad ini, cinta yang terkadang (kalo ndak mau dibilang sering) berujung ke tindakan ekstrim nan anarkis.

Nah... masih mau lanjut?
* * *

Pertama-tama, mari tundukan kepala sejenak untuk aksi yang menampar Indonesia tepat di wajah ibu kota hari Kamis, 14 Januari 2016 kemarin. Untuk polisi, tentara, sipil, baik yang menjadi korban maupun yang sigap mengamankan keadaan, kalian adalah pahlawan. Salut! Sulit kubayangkan saat kita tengah asyik duduk sambil ngopi, tiba-tiba diberondong peluru dan bom rompi. Not cool, Bro!

Kedua, aku menghindari frasa 'teroris' dan memilih 'ekstrimis'. Aku merasa neokolonialis/ nekolim, penjajah gaya baru itu, ingin mendekatkan frasa 'teroris' itu dengan saudara-saudara muslimku. Kalian tahu sendiri bagaimana sibuknya mereka mencap ‘serangan didalangi teroris’ bila pelakunya mengaku muslim. Atau ‘ceroboh’ meninggalkan passport bertuliskan Islam. Atau kemudian passport itu tidak meleleh meski gedung WTC ambruk lebur. Modus!

Tapi bukan berarti tak ada pelaku teror yang mengaku memeluk Islam, kan?

Bila kemudian ada yang seperti Amrozi, Imam Samudera atau si Mukhlas yang mengaku melakukan pembunuhan massal sambil mengatasnamakan Islam, aku bakal tersinggung. Aku harus tersinggung.
Setahuku, Islam bukanlah demikian. Itu yang kulihat tercermin dari almarhum bibiku yang mualaf, suaminya yang kiai, idolaku Bung Karno, Gus Dur, K.H. Zainuddin M.Z. yang kudengar di radio dahulu sampai sahabat-sahabatku sejak kecil yang banyak sekali memeluk Islam. Mereka penganut agama taat yang menjunjung kemanusiaan. Kurasakan, agama yang mereka anut adalah ajaran yang mengajarkan kebaikan, sebuah tuntunan.

Menurutku, ekstrimismu tak ada kaitannya dengan agama. Meski pelaku senantiasa mengaku begitu.

Tahukah engkau, bahwa Gandhi dibunuh oleh seorang ekstrimis yang beragama Hindu? Namanya Nathuram Godse, Hindu garis keras. Kenapa ia membunuh Gandhi yang notabene Hindu juga? Ya karena pendirian Gandhi yang mendukung hasrat kaum muslim di Pakistan untuk merdeka, lepas dari India.

Ekstrimis pembunuh Gandhi mengaku beragama Hindu…

Di Amerika sana, adalah Robert Lewis Dear, seorang penganut Kristen taat, tetapi ia juga menembaki pengunjung sebuah klinik. Motifnya? Entahlah. Yang jelas ia banyak menyitir pandangan-pandangan kelompok Kristen sayap kanan ektrim. Ada juga Dylann Storm Roof menembaki jemaat gereja di Charleston sana sehabis berdoa bersama.

Kedua ekstrimis ini mengaku beragama Kristen.

Contoh lainnya datang dari tetangga kita, Myanmar. Pembantaian etnis Rohingya kemarin diamini oleh seorang Biksu Buddha bernama Ashin Wirathu. “Saya bangga disebut sebagai umat Buddha garis keras,” tutur Ashin. Wajah Ashin juga menghias sampul Majalah Time dengan titel, ’The Face of Buddhist Terror’. Time juga di dalam berita menyebut sosok Ashin Wirathu sebagai Bin Laden Bangsa Burma.

Ashin Wirathu mengaku beragama Buddha.

Terakhir, Trio Bom Bali: Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera. Aku sempat menonton sidang mereka, dan mereka dengan bangganya mengaku beragama Islam. Sambil menjelaskan langkah-langkah merakit bom mobil bermodal filling cabinet.

Kawanku, tak perlu malu mengakui ada orang ngaku-ngaku memeluk agama kita dan melakukan aksi teror, apalagi sampai mencari alasan macam "ah, itu kan konspirasi ulah propaganjen asing demi merusak citra kita. Lihat topinya NIKE!" Buat apa? Pembunuh Gandhi boleh mengaku beragama Hindu. Tapi itu kan menurutnya pribadi, bukan menurutku. Agama tidak mengajarkan untuk brangasan kekerasan. Bukannya agama adalah tuntunan hidup yang menata kehidupan manusia untuk jadi lebih baik?

Ekstrimis akan selalu mengaku membela cinta agama, karena ingin simpati darimu, dari kita. Sayangnya kita sering tutup mata. Atau pura-pura tutup mata.

Ingat lima hari setelah tragedi 11 September? George W. Bush memakai kata ‘crusade’ (perang salib) untuk perang melawan kelompok yang ia sebut teroris. Ia ingin membangkitkan simpati lewat romantisme agama. Tiada beda dengan Nathuram Godse berdalih membela kepentingan Hindu India. Pun tak berbeda dengan trio bom Bali yang memakai “demi membela Islam” sebagai dalih.

Poso, Ambon, 11 September, Rohingya, Timur Tengah -di manapun- agama akan senantiasa digunakan untuk membangkitkan romantisme pecinta agama, demi memaklumi tindakan mereka. Bahayanya, seringkali kita ikut membebek. Padahal, ini simple as fu*ck. Sekelompok orang membunuhi seseorang lainnya. Apapun alasannya, itu salah. Titik. Habis perkara. Bukannya begitu ya?

Sedihnya, ekstrimis akan selalu ada. Selalu…

Entah berpanji agama, berbendera klub bola, pembela suku, dan lain-lain. Selama masih ada alasan hati ini untuk mencintai, untuk mengamini serta mengimani sesuatu, beriringan pula muncul keberanian untuk membelanya. Mati demi cinta! Meskipun, objek cinta sendiri mungkin ndak ingin dibela dengan cara begitu. Kalau saja cinta bisa ngomong. Sayangnya enggak.
* * *

Lalu, mengapa kadang kita gamang, tak satu suara dalam melihat aksi penjahat-penjahat kemanusiaan itu? Mungkin kita merasa sendirian. Mungkin juga kita merasa kurang panutan.
Dalam hati kecilku yang sederhana ini, ingin rasanya melihat para tetua kita di induk organisasi agama MUI, PGI, KWI, WALUBI, dan PHDI duduk semeja. Bersama presiden dan jajarannya, menyerukan pada kita, umatnya,

“lihat pelaku itu? Jangan percaya bila mereka mengaku beragama ini itu. Gombal! Mereka bukan Islam. Sebagaimana pembunuh Gandhi juga bukan Hindu. Mereka orang-orang sesat, apapun agamanya. Selain pasal terorisme, mereka juga harus kena pasal penistaan agama, karena ngaku-ngaku agama yang luhur ini. Ngrusak nama!”

Ah… alangkah indahnya!

Mengucap belasungkawa, apalagi membuat hestek, adalah perkara mudah. Mengejek yang share tentang aksi teror di media sosial lebih mudah lagi.  Yang susah itu adalah mengakui bahwa aksi teror adalah bagian permasalahan sosial kita, sambil mengesampingkan ego, suku, agama, atau pembeda lainnya untuk bersama-sama berseru, me-reclaim agama dari para peneror.

Hey ekstrimis.... Kamilah anak-anak pewaris syah berbagai agama damai ini, bukan kau! Kau tidak beragama!

… dan hell yeah, ekstrimis…. #KamiTidakTakut!


(ditulis untuk kulkulbali.co awal Januari kemarin)