Belum membaca bagian pertama dari kisah ini? Silakan klik disini
Cobalah, baca sambil dengar lagu ini. Lagu ini dibuat oleh Guntur Soekarnoputra tentang Ibundanya.



Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati. Ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tahu wajah sang ayah bengkak-bengkak dan sulit berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.

Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. “Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden,” kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya.

Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya.

“Lho, Mbak Rachma ada apa?” tanya Bu Tien, kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien tersentuh dan menggenggam tangan Rachma. Sambil menggenggamnya, Ibu Tien mengantarkan Rachma ke ruang kerja Pak Harto.
Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana Merdeka dalam waktu 2 x 24 jam.

Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno juga tak bersahabat.

“Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!” tegas mereka.

Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu disana.

“Mana kakak-kakakmu?” tanya Bung Karno. Guruh menoleh ke arah bapaknya lantas berkata, “Mereka pergi ke rumah Ibu”. Rumah ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.

Bung Karno berkata lagi, “Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu. Jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara,” kata Bung Karno, lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana.
Apa yang muncul di kepalamu ketika melihat orang yang pertumbuhan kakinya tak sempurna, berjalan dengan kursi beroda, melintas di sebelahmu saat kau asik belanja sayur di pasar? Entah bagaimana reaksimu, tapi kubayangkan akan banyak orang bengong, heran, kagum sampai membantu mendorong kursi, atau bahkan ada pengunjung pasar bergumam, “ngapain sih, susah-susah kesini, di rumah aja diem.”

Cerita-cerita semacam tadi banyak kudengar di sini, di sebuah yayasan yang menaungi saudara-saudara “sekilas-tampak-berbeda” kita di sudut sejuk Tampak Siring, Gianyar Bali. Spesial tentang gumaman pengunjung pasar tadi dikisahkan oleh Bli Gusti, salah satu warga disana dengan semangat paling besar yang pernah kulihat. Kebetulan, aku berkesempatan menjalani satu babak hidup untuk bersentuhan langsung dengan mereka. Hidup ditengah mereka selama dua hari satu malam, dua sampai tiga Maret tahun 2013.

Dan tentang semua kisah diatas tadi, percaya atau tidak, kawanku sekalian, mereka ceritakan padaku tanpa kesan duka. Sambil tersenyum pula!
* * *


Ada sebuah kalimat lama, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Itu bukanlah kalimat sembarang. Kalimat itu dibuat puluhan tahun lalu saat Republik Indonesia baru berumur sehari.

Kawanku, itu adalah bunyi dari pasal 27 Undang Undang Dasar negara kita. “Tiap-tiap warga negara,” katanya, “berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Bapak-bapak pendiri pondasi republik ini ingin agar tiap anaknya, anak bangsanya ini, punya hak dan kesempatan untuk bekerja, untuk mengejar hidup layak.

Tapi sayangnya, tak semua punya kesempatan yang sama. Apalagi untuk saudara kita yang “sekilas-terlihat-berbeda”, alias difable.

 “Saya rajin ikut kirim lamaran kerja semacam begitu. Waktu di PT BTDC sampai lulus psikotes malahan” kisah Bli I Gusti Ngurah Arya Natih, warga yayasan berusia 30 tahun asal Mengwi. Oya, nama yayasan ini adalah Senang Hati, nama yang positif, bukan? Saat kutanya bagaimana kelanjutan kisah Bli Ngurah dengan BTDC, ia mengaku tes wawancara menggagalkannya. Ada raut kecewa yang tampak saat ia berkisah.

Kisah lain lagi dari Yulia (maaf, umur disamarkan, ha!). Dara satu ini asli Pontianak, namun ber-KTP Tangerang, yang kini jadi warga yayasan Senang Hati di Bali pula. Bagaimana ceritanya bisa melanglang buana begitu, ah tak cukup bila kuceritan disini. Bisa jadi satu novel memoar lima ratus halaman nanti, bukan lima ratus kata. “Ndak tahan saya dikekang keluarga, saya datang ke Jakarta. Buka warung kecil-kecilan, gitu,” kisahnya sambil tersenyum. Keterbatasan finansial, belum lagi keterbatasan fisik nampaknya membuat Yulia lelah bertarung hidup di Jakarta.

Satu yang harus kita catat, Bli Ngurah butuh tongkat untuk membantunya berjalan, sementara Yulia memakai kursi roda.

Hidup ini keras? Tanyakan dulu kepada mereka, apa itu arti hidup keras. Kadang kerasnya hidup mereka malah membuatku takut salah bersikap disini.

Contoh kecil saja, misalnya saat mereka berusaha melintasi tanjakan di halaman. Mereka berusaha, mereka menunjukkan diri mereka mampu. Bila mereka tak memanggilku untuk meminta bantuan, aku malu mendorong kursinya. Mereka tak ingin dilihat dengan belas kasihan oleh dunia. Jangan, tapi percayalah kalau mereka mampu.

Dan mereka memang mampu!

Seorang warga yayasan ini, kerja jadi PNS, lho!” kisah Ibu Putu Suriani, ketua yayasan Senang Hati dengan bangga. “Kami punya kerjasama dengan hotel kalau masalah penyaluran kerja anak kami, Dik. Di FIF Denpasar, ibu kepalanya yang dulu peduli sekali. Dua anak kami diterima kerja. Sayang, pas ibunya pindah dua anak kami sekarang diberhentikan.”

Diberhentikan? Satu hal menarik kita lihat disini, ternyata ada atau tidaknya kesempatan untuk mereka  tergantung otoritas.

Disinilah mereka menceritakan harapannya. Yang mereka butuhkan bukanlah tangan yang menyuapi mulut mereka dengan nasi. Yang mereka inginkan adalah kesempatan, untuk melihat dunia, menghadapi dunia, dan mencari kehidupan layak. Dengan kekuatan tangan sendiri!

Mereka mungkin memang tak punya otot dan tulang sekuat dan sesempurna orang kebanyakan. Tapi aku yakin mereka punya satu hal yang mungkin manusia paling sempurna pun jarang miliki: tekad dan semangat kuat untuk untuk membuktikan pada dunia, bahwa mereka bisa!

Aku percaya mereka bisa. Masalahnya, adakah yang membuatkan pintu kesempatan untuk saudara-saudara kita yang “sekilas mata tampak berbeda” ini?

Dewa Made Cakrabuana Aristokra

* * *



Tulisan ini kubuat tanggal tiga Maret 2013, saat aku berkesempatan hidup bersama mereka selama sehari-semalam. Kesempatan luarbiasa itu ada berkat Kelas Jurnalisme Warga angkatan XVI, yang diprakarsai oleh jagoan pers independen Bali, Anton Muhajir.

... dan kebetulan, Yayasan Senang Hati saat ini sedang ditayangkan oleh Kick Andy, MetroTV.

Yasudah, kuudarakan saja sekalian. :) 
"Ini bukunya"
Aku sedang duduk malas. Melepas lelah sepulang kerja.
Televisi disebelahku sedang menayangkan TVOne. Selayaknya TVOne, di layar kini tampak seorang presenter yang sedang mewawancarai memandu perdebatan antara beberapa narasumber. 

Nada bicara mereka mulai meninggi, saling berbantahan dengan seru. Mereka sedang membahas kontroversi "Soeharto" yang akan dijadikan nama sebuah jalan arteri di ibukota.

"Mereka lucu, sebenarnya," aku terkekeh dalam hati.

Bagaimana tidak lucu, coba!
Mereka sedang mewujudkan hal yang sebenarnya paling tidak disukai Pak Harto, sebagaimana yang beliau paparkan pada halaman-halaman awal biografinya. Yeah, Pak Harto benci kontroversi! 

"Kontroversi itu bisa menimbulkan dua kelompok, ada yang setuju dan ada pula yang tidak. Kedua pihak ini akan saling mempertahankan pendapatnya, bisa sampai gontok-gontokan. Nah disana muncul yang namanya pro dan kontra. Pro-kontra itu berbahaya, bisa mengganggu stabilitas nasional. Kalau stabilitas terganggu, kita tidak bisa membangun."

Begitu kira-kira kata Pak Harto di bukunya. Pola pikir "anti-kontroversi" itu memberi pola jelas atas semua pondasi pembangunan di era Orde Baru, bukan? Penghilangan (penangkapan, lalu pelenyapan) para aktivis, pembredelan media pengkritik pemerintah, itu hanyalah dua contoh kecil. Belum lagi inovasi semacam Departemen Penerangan, Petrus, sampai Dwi Fungsi ABRI. Pokoknya, stabilitas adalah mutlak menurut Pak Harto. Harga mati! Titik.

Oh, anyway, buku ini sebenarnya bagus. Memang tak sekelas buku terbaik Bung Karno, biografi Pak Harto ini memang dipenuhi jilatan-jilatan basah sang penulis pada pak presiden. Tapi aku suka membacanya.

Oke, lanjut.
Dimanakah aku berdiri -di kelompok pro atau kontra- atas pengusulan nama jalan Pak Harto ini?