Nama tokoh dan tempat tentu telah disamarkan...
... dan pengubahan seperlunya
... dan pengubahan seperlunya
"Nanti akan ada yang datang ya, bawa udang sekilo," begitu ujar istriku kemarin siang, saat kami asyik nyamil manggis di teras.
"Siapa yang bawain? Teman yang kemarin bawa manggis?"
"Bukan," sergahnya. "Yang kemarin itu Sinta. Yang bawa udang nanti Nela. Keduanya sama-sama kerja di Metro Restaurant, sih."
Oiya, perkenalan dulu.
Namaku Dewa, dan istriku Dayu. Istriku kini mengemban jabatan ibu rumah tangga full time. Sebelumnya, ia bekerja di kapal pesiar. Sebelumnya lagi, Dayu bekerja di Metro Restaurant, sebuah tempat makan fancy di Bali yang sering dikunjungi pesohor dan politisi. Karena itulah, kami punya banyak kawan dari dunia pariwisata.
Akibat melorotnya kunjungan wisatawan ke Bali (jelas karena COVID-19), Metro Restaurant menutup operasinya sejak beberapa waktu lalu. Pekerjanya dirumahkan, tanpa dibayar. Suami Sinta adalah pekerja travel, sehari-hari mengantar turis keliling Bali. Suami Nela bekerja di Finna Beach Club yang kini juga tutup. Nama tempat memang kusamarkan, tapi Finna Beach Club adalah tempat nongkrong yang sedang hits. Sebelas dua belas lah dengan Omnia.
Begitulah gambaran generik keluarga muda Bali: pekerja sektor wisata. Suatu ceruk ekonomi yang menggiurkan dan cukup lah untuk mengatrol keluarga menuju middle class perkotaan. Namun saat ini, mereka tengah dihadapkan pada tantangan:
"Tinn..."
Terdengar klakson motor, tanda Nela telah tiba. Aku dan istri bergegas mengenakan masker sembari membuka gerbang. Kedua ibu muda ini bercakap sana-sini. Awalnya aku hanya duduk mendengarkan dari dua meter, jarak aman physical distancing. Tapi akhirnya gatal pengen nimbrung jua.
"Bagus nih udangnya. Dari mana dapat udang gede-gede begini, Nela?"
Sekilas, Nela dan Sinta adalah wanita petarung. Kemarin Sinta datang dengan mobil penuh buah dari kampung untuk dijual kembali ke kota. Kini Nela datang dengan jaket tebal plus masker demi mengantarkan udang menembus terik Denpasar. Aku pun melanjutkan interogasiku.
"Yup, Bli, dianggurini gitu aja. Plus... tanpa kompensasi. Entah sampai kapan..." sahut Nela. Ada rasa menerawang, bimbang dalam jawabannya.
Singkat cerita, kami tak ingin menghalangi Nela mengantarkan udang ke pelanggan selanjutnya. Ia berpamitan setelah ijin memfoto istriku berpose memegang udangnya. Mungkin untuk promosi di medsos.
Ahh.... keadaan memang sedang buruk di Pulau Dewata, pulau yang denyut utama ekonomi adalah sektor wisata. The bad news is, banyak yang khawatir bahwa yang terburuk bisa jadi belum datang.
Aku sebenarnya jarang mengumpat, tapi...
Nah, pertanyaan terakhir: kita bisa apa?
Situasi ini adalah bencana, perlu ada keberpihakan kepada segenap lapisan masyarakat yang terkena dampak. Tidak cuma satu-dua profesi yang kehilangan penghasilan, kan?
Sementara itu, mari tengok ke sekitar. Ayo kita giatkan perputaran ekonomi antar kawan. Berbelanja kebutuhan ke warung depan, selain ke convinience store meski si warung ndak dingin karena tanpa AC. Ramaikan transaksi kawan kita yang memilih berdagang di situasi sulit ini. Dari kita, untuk kita.
Tidaklah ada bahagia, bila hanya tinggal satu orang saja di bumi yang kenyang, sementara semua orang lain mati kelaparan, bukan?
Berdoa, semoga semua segera kembali seperti sedia kala.
Semoga...
Akibat melorotnya kunjungan wisatawan ke Bali (jelas karena COVID-19), Metro Restaurant menutup operasinya sejak beberapa waktu lalu. Pekerjanya dirumahkan, tanpa dibayar. Suami Sinta adalah pekerja travel, sehari-hari mengantar turis keliling Bali. Suami Nela bekerja di Finna Beach Club yang kini juga tutup. Nama tempat memang kusamarkan, tapi Finna Beach Club adalah tempat nongkrong yang sedang hits. Sebelas dua belas lah dengan Omnia.
Begitulah gambaran generik keluarga muda Bali: pekerja sektor wisata. Suatu ceruk ekonomi yang menggiurkan dan cukup lah untuk mengatrol keluarga menuju middle class perkotaan. Namun saat ini, mereka tengah dihadapkan pada tantangan:
"Bagaimana menghadapi wisata Bali yang meruntuh, sementara suami istri sama-sama dirumahkan?"
Pasti pelik...
Nah, mari kembali ke teras rumahku.
"Tinn..."
Terdengar klakson motor, tanda Nela telah tiba. Aku dan istri bergegas mengenakan masker sembari membuka gerbang. Kedua ibu muda ini bercakap sana-sini. Awalnya aku hanya duduk mendengarkan dari dua meter, jarak aman physical distancing. Tapi akhirnya gatal pengen nimbrung jua.
"Bagus nih udangnya. Dari mana dapat udang gede-gede begini, Nela?"
"Dari tambak, Bli..." sahutnya berlogat Bali medok. "Biasanya sih disuplai ke hotel dan restoran. Nah, sekarang kan ndak ada permintaan."
Sekilas, Nela dan Sinta adalah wanita petarung. Kemarin Sinta datang dengan mobil penuh buah dari kampung untuk dijual kembali ke kota. Kini Nela datang dengan jaket tebal plus masker demi mengantarkan udang menembus terik Denpasar. Aku pun melanjutkan interogasiku.
"Jadi... di dunia pariwisata sekarang para pegawai kebanyakan dirumahkan ya..."
"Yup, Bli, dianggurini gitu aja. Plus... tanpa kompensasi. Entah sampai kapan..." sahut Nela. Ada rasa menerawang, bimbang dalam jawabannya.
Foto istriku ini kuambil dari medsos Nela |
Singkat cerita, kami tak ingin menghalangi Nela mengantarkan udang ke pelanggan selanjutnya. Ia berpamitan setelah ijin memfoto istriku berpose memegang udangnya. Mungkin untuk promosi di medsos.
Waktu berlalu, matahari telah kembali ke peraduan. Aku bersama Gustu (adik istriku) mulai menyusun arang di halaman. Udang segar begini enaknya dibakar.
Gustu sibuk meracik bumbu: sekadar cabai, kecap manis dan minyak goreng. Istriku asyik di dapur, entah menyiapkan sosis, kentang, dan apa saja yang ada di kulkas. Sekilas, kami serasa hidup di jaman meramu dan berburu.
Mau bagaimana lagi?
Tempat makan pada tutup. Kalaupun buka, siapa yang mau singgah? Membeli bahan makanan pun tak lagi leluasa karena physical distancing. Tapi tak berarti kehilangan motivasi untuk ceria, bukan? Ceria itu wajib. Demi imunitas.
Sembari menikmati sajian home-made, Gustu dan Dayu tersenyum puas. "Udangnya hanya dipakai setengah, lho..." ujar istriku. "Kemanginya juga petik di depan. Jadi cuma habis empat puluh ribu. Kalau makan di restoran Jimbaran, ini pasti udah kena setengah jutaan."
Gustu sibuk meracik bumbu: sekadar cabai, kecap manis dan minyak goreng. Istriku asyik di dapur, entah menyiapkan sosis, kentang, dan apa saja yang ada di kulkas. Sekilas, kami serasa hidup di jaman meramu dan berburu.
Mau bagaimana lagi?
Tempat makan pada tutup. Kalaupun buka, siapa yang mau singgah? Membeli bahan makanan pun tak lagi leluasa karena physical distancing. Tapi tak berarti kehilangan motivasi untuk ceria, bukan? Ceria itu wajib. Demi imunitas.
Sembari menikmati sajian home-made, Gustu dan Dayu tersenyum puas. "Udangnya hanya dipakai setengah, lho..." ujar istriku. "Kemanginya juga petik di depan. Jadi cuma habis empat puluh ribu. Kalau makan di restoran Jimbaran, ini pasti udah kena setengah jutaan."
Gustu ikut menimpali, "situasi bikin kita ndak bisa ke Jimbaran. Makanya Jimbaran yang kita bawa ke rumah."
... gambar yang telah didramatisasi Snapseed... |
Duduk bersama di teras seperti ini, kami jadi mengucap syukur. Syukur masih bisa tersenyum di tengah dunia yang sedang muram.
Namun sayang, ternyata hari ini tidak ditutup dengan keceriaan.
Malam makin larut, perabot telah tercuci. Kulihat Dayu mengernyitkan dahi memandang telepon genggamnya.
Namun sayang, ternyata hari ini tidak ditutup dengan keceriaan.
Malam makin larut, perabot telah tercuci. Kulihat Dayu mengernyitkan dahi memandang telepon genggamnya.
Aku jadi penasaran, "Serius amat. Kenapa?"
"Habis lihat story teman. Hmm... sepertinya Metro Restaurant mem-PHK para pekerjanya. Barusan banget."
Degg...
"Habis lihat story teman. Hmm... sepertinya Metro Restaurant mem-PHK para pekerjanya. Barusan banget."
Degg...
Terbayang keluarga kecil Sinta dan Nela yang baru saja kutemui, pasangan suami-istri itu sedang kehilangan mata pencaharian pokok. Jelas mereka tidak sendirian. Ada banyak sekali pekerja wisata, ribuan Sinta dan Nela lain di luar sana yang mungkin mengalami hal serupa.
Keadaan ini membuatku ingat pada podcast Pak Chatib Basri bersama Rayestu tempo hari. Mereka membahas dampak ekonomi COVID-19 (bisa disimak di sini), utamanya bagi kelas menengah.
Keadaan ini membuatku ingat pada podcast Pak Chatib Basri bersama Rayestu tempo hari. Mereka membahas dampak ekonomi COVID-19 (bisa disimak di sini), utamanya bagi kelas menengah.
Salah satu poin yang beliau tekankan, adalah kaum terbawah ekonomi umumnya sudah memiliki jaringan pengaman sosial. Ada PKH, ada juga subsidi listrik. Sementara, kaum menengah saat ini belum punya jaring semacam itu. Contoh nyatanya pekerja pariwisata yang sedang dirumahkan atau diberhentikan. "Jangan lupakan kelas menengah dalam jaring pengaman sosial," ujar Pak Dede, sapaan Pak Chatib.
Tentu di rumah Sinta dan Nela tidak terpasang meteran listrik 450 VA maupun 900 VA yang sedang mendapatkan subsidi. Kuyakin juga mereka tidak tergolong keluarga yang mendapat bantuan PKH (Program Keluarga Harapan). Ndak mungkin rumah mereka berlantai tanah.
Tentu di rumah Sinta dan Nela tidak terpasang meteran listrik 450 VA maupun 900 VA yang sedang mendapatkan subsidi. Kuyakin juga mereka tidak tergolong keluarga yang mendapat bantuan PKH (Program Keluarga Harapan). Ndak mungkin rumah mereka berlantai tanah.
Lantas, mereka dapat apa?
Jaring pengaman sosial macam apa yang tersedia untuk masyarakat kelas menengah macam mereka?
Adakah? Jangan-jangan belum.
Layaknya orang terjerembab, tentu lebih sakit bila tak ada jaring pengaman menjaga.
Di lain kesempatan, mantan menteri keuangan RI itu kembali menyuarakan hal senada.
Di lain kesempatan, mantan menteri keuangan RI itu kembali menyuarakan hal senada.
...artikel selengkapnya silakan klik di sini... |
Ahh.... keadaan memang sedang buruk di Pulau Dewata, pulau yang denyut utama ekonomi adalah sektor wisata. The bad news is, banyak yang khawatir bahwa yang terburuk bisa jadi belum datang.
Aku sebenarnya jarang mengumpat, tapi...
Damn...
* * *
Umat manusia akan mengenang 2020 sebagai tahun yang -duh gusti- penuh marabahaya.
Media mainstream senantiasa memapar pemirsa dengan angka-angka dan singkatan. Entah itu ODP, jumlah kematian, PSBB, ventilator, dan berbagai istilah serem lain. Seolah pandemi adalah angka-angka. Seolah rutinitas baru tiap hari adalah mantengin angka positif dan kematian, layaknya mantengin skor bola di Livescore.
Ndak salah sih. Tapi jangan sampai kita mengesampingkan hal lain yang tak kalah penting.
Ada perasaan tak aman tengah berkecamuk di dada keluarga-keluarga. Kekawatiran itu bukan sekadar angka dan grafik. Itu jeritan hati orang tua yang bingung, bagaimana memastikan nasi tersedia di meja makan esok pagi. Itu juga keresahan hati pengusaha, yang tak sampai hati memecat tenaga kerja, namun juga tak sampai duit untuk terus berproduksi saat permintaan lesu begini.
Bagi Sinta dan Nela, resesi bukan "di depan mata". Resesi sudah datang, sudah menghantam ulu hati. Sumber penghasilan utama sudah hilang. Apakah angka-angka serem di TV akan meringankan pengeluaran rumah tangga mereka?
Ndak salah sih. Tapi jangan sampai kita mengesampingkan hal lain yang tak kalah penting.
Ada perasaan tak aman tengah berkecamuk di dada keluarga-keluarga. Kekawatiran itu bukan sekadar angka dan grafik. Itu jeritan hati orang tua yang bingung, bagaimana memastikan nasi tersedia di meja makan esok pagi. Itu juga keresahan hati pengusaha, yang tak sampai hati memecat tenaga kerja, namun juga tak sampai duit untuk terus berproduksi saat permintaan lesu begini.
Bagi Sinta dan Nela, resesi bukan "di depan mata". Resesi sudah datang, sudah menghantam ulu hati. Sumber penghasilan utama sudah hilang. Apakah angka-angka serem di TV akan meringankan pengeluaran rumah tangga mereka?
Entah.
Nah, pertanyaan terakhir: kita bisa apa?
Situasi ini adalah bencana, perlu ada keberpihakan kepada segenap lapisan masyarakat yang terkena dampak. Tidak cuma satu-dua profesi yang kehilangan penghasilan, kan?
Teknisnya? Penyelenggara negara lah yang lebih mampu dan paham. Mereka memengang kendali atas distribusi sumber daya, serta wewenang untuk menciptakan dan menegakkan regulasi. Regulasi dan sumber daya adalah bahan utama untuk memapah punggung rakyat Indonesia, sebelum punggung itu menghantam tanah. Itulah jaring pengaman sosial.
Siapa lah aku, hanya menyuarakan resah hati yang kulihat di sekitar. Benar-benar sedih rasanya memandang keadaan sulit ini. Semoga segera ada hal nyata dari penyelenggara negara, yang benar-benar meringankan beban yang makin berat saja di pundak rakyatnya.
...kedai UKM dekat rumah yang lesu... |
Berputarnya roda ekonomi --meskipun sekecil membeli telur dan mie instan di warung dekat rumah-- mungkin bisa mengentaskan satu keluarga dari ancaman tidur dengan perut keroncongan malam ini. Siapa tahu? Hal-hal kecil macam itu aku rasa adalah hal yang paling bisa kulakukan saat ini.
Dunia sedang tidak baik-baik saja
Mari rangkul kawan dan sekitar
Dukung, saling sokong, solid dan jaga
Siapa lagi, kalau bukan kita?
Mari rangkul kawan dan sekitar
Dukung, saling sokong, solid dan jaga
Siapa lagi, kalau bukan kita?
Tidaklah ada bahagia, bila hanya tinggal satu orang saja di bumi yang kenyang, sementara semua orang lain mati kelaparan, bukan?
Berdoa, semoga semua segera kembali seperti sedia kala.
Semoga...
asli gua nangis baca ini. semoga mereka baik-baik
BalasHapusNtabs
BalasHapussemoga badai ini cepat berlalu . Selamat semuanya
BalasHapus