Piye Kabare, Enak Jamanku, Toh?

, , 12 comments
"Ini bukunya"
Aku sedang duduk malas. Melepas lelah sepulang kerja.
Televisi disebelahku sedang menayangkan TVOne. Selayaknya TVOne, di layar kini tampak seorang presenter yang sedang mewawancarai memandu perdebatan antara beberapa narasumber. 

Nada bicara mereka mulai meninggi, saling berbantahan dengan seru. Mereka sedang membahas kontroversi "Soeharto" yang akan dijadikan nama sebuah jalan arteri di ibukota.

"Mereka lucu, sebenarnya," aku terkekeh dalam hati.

Bagaimana tidak lucu, coba!
Mereka sedang mewujudkan hal yang sebenarnya paling tidak disukai Pak Harto, sebagaimana yang beliau paparkan pada halaman-halaman awal biografinya. Yeah, Pak Harto benci kontroversi! 

"Kontroversi itu bisa menimbulkan dua kelompok, ada yang setuju dan ada pula yang tidak. Kedua pihak ini akan saling mempertahankan pendapatnya, bisa sampai gontok-gontokan. Nah disana muncul yang namanya pro dan kontra. Pro-kontra itu berbahaya, bisa mengganggu stabilitas nasional. Kalau stabilitas terganggu, kita tidak bisa membangun."

Begitu kira-kira kata Pak Harto di bukunya. Pola pikir "anti-kontroversi" itu memberi pola jelas atas semua pondasi pembangunan di era Orde Baru, bukan? Penghilangan (penangkapan, lalu pelenyapan) para aktivis, pembredelan media pengkritik pemerintah, itu hanyalah dua contoh kecil. Belum lagi inovasi semacam Departemen Penerangan, Petrus, sampai Dwi Fungsi ABRI. Pokoknya, stabilitas adalah mutlak menurut Pak Harto. Harga mati! Titik.

Oh, anyway, buku ini sebenarnya bagus. Memang tak sekelas buku terbaik Bung Karno, biografi Pak Harto ini memang dipenuhi jilatan-jilatan basah sang penulis pada pak presiden. Tapi aku suka membacanya.

Oke, lanjut.
Dimanakah aku berdiri -di kelompok pro atau kontra- atas pengusulan nama jalan Pak Harto ini?

Hmm... itu adalah pertanyaan yang berat!
Pak Harto terlalu kompleks. Sungguh. Begitu banyak kepentingan yang membelit beliau. Ada Freeport, ada anti-kapitalis, (tentu selalu) ada Amerika, sampai kroni-kroni yang membuat rezim Pak Harto begitu menggurita. Kalau kita benar-benar berniat membahasnya, kisah itu akan penuh rangkaian benang kusut tentang posisi vital Indonesia ditengah perang kapitalis vs komunis, mafia penguasa ekonomi dunia, sampai pembunuhan Bung Karno secara lahir batin. Keterlibatan Amerika tak usah lah ditanya. Sekarang pun kita bisa lihat sendiri bahwa di setiap perubahan rezim, Amerika pasti ikut nimbrung di salah satu pihak. Indonesia, Libya, selanjutnya Syiria! 

Tapi di samping berbagai hal negatif tentang Orde Baru diatas, ada hal yang aku pahami betul. Ada banyak kawan-kawan seangkatanku diluar sana yang mendadak mellow, kangen dengan Bapak Pembangunan yang satu ini bila melihat poster macam begini di belakang truk. Aku juga terkadang merasa ada beberapa hal yang kurindukan dari jaman Pak Harto.

Piye kabare? Enak Jamanku, Toh?

Nah!
* * *

Aku dan kawan-kawan seangkatan Generasi90an, menghabiskan masa kecil di era emas Pak Harto. Kami lahir dengan semarak karya pembangunan. Aku yang masih SD menikmati betul suasana aman nan tentram. Semua bahan kebutuhan terjangkau, bensin pun hanya 1.500 rupiah. Ingatkah kalian pada siaran Dunia Dalam Berita (saat jam delapan malam semua televisi mendadak seragam) yang menyiarkan panen raya di Gorontalo, dan pembangunan bendungan di Jawa Timur? Saat itu televisi berbagi inspirasi dan kebanggaan nasional. Saat itu.

Pokoknya, sepanjang 15 tahun jaman reformasi ini, tak seharipun terasa lebih berseri dari masa-masa Kabinet Pembangunan-nya Pak Harto. Seolah mendung tak berhenti menggantung di atas langit negeri ini.

Itu tadi sudut pandang aku -seorang anak SD- tentang Indonesia di bawah Soeharto. Bagaimana bila dilihat dari sudut pandang lain?

Masuk pokok bahasan ini, aku jadi bergetar, tak kuat merinci satu-persatu "dosa" Pak Harto. Ah kawan, kita sedang bercerita tentang dua sisi yang saling berlawanan dari pribadinya. Jenderal yang sampai dijuluki "The Smiling General" karena saking ramah senyumnya ini ternyata punya wajah lain: panglima bengis kala penumpasan di tahun 1965.

Hmm... si jenderal senyum sekaligus penumpas jutaan nyawa? Dua wajah yang bertolak-belakang.

Bengis? Coba bayangkan.
Sarwo Eddie Wibowo mengakui bahwa operasi "penumpasan PKI" sebenarnya memakan korban tiga juta jiwa. Habis perkara pada korban tewas itu saja? Belum, sayangnya belum. Saudara si korban, anaknya, istrinya, hingga cucunya pun dicap sebagai "darah kotor". Mereka (diper)sulit mencari pekerjaan, sulit mencari penghidupan, bahkan sekolah.
Apakah sebenarnya salah mereka? Entahlah, yang pasti seorang kawan di kampungku tak jadi masuk AKABRI konon karena keluarganya "kena garis merah". Adakah kenalan kalian yang mengalami nasib serupa? Kuyakini, pasti ada.

Kawanku, dimana lagi dalam sejarah negara-negara modern terjadi pembantaian sekian juta orang plus pendiskriminasian pada keturunannya selama puluhan tahun? The Smiling General dari Indonesia lah orangnya.

Bengisnya pada Bung Karno, malah tak terperikan lagi.

Sejujurnya, aku ingin bercerita padamu, kawan, tentang bagaimana sedihnya Bung Karno saat dilarang menghadiri pernikahan Guntur, putra sulungnya. Akhirnya ia menulis surat ditujukan kepada sahabat, Hatta, meminta Hatta menggantikannya menjadi wali pernikahan Guntur. 
Ingin juga aku bercerita tentang istri Bung Karno yang menangis, mendatangi Ibu Tien, agar diijinkan menemani Bung Karno yang sedang sakit dan dikurung di Wisma Yaso. Belum lagi cerita tentang sang proklamator menghembuskan nafas terakhir dengan gelas air menghitam karena jentik nyamuk, pisang menghitam busuk tergeletak di sebalahnya, dan bagaimana Bung Karno dirawat hanya oleh dokter hewan.


"Bung Karno bersama Pak Harto muda"
Ya, Pak Harto memang memberi keputusan, agar Bung Karno dirawat oleh seorang dokter hewan. Bahkan setelah Bung Karno meninggal pun, anak istrinya tak boleh memandang jenazah Bapak, sebelum mendapat ijin penguasa kala itu. Miris!

Miris, perlakuan untuk seorang yang mendekam  belasan tahun di penjara Belanda semata-mata demi sebuah cita-cita memerdekakan Indonesia.

Itu dari sisi kemanusiaannya. Sisi berkebalikan lainnya ada pula. Yang ini lebih serius.
Sekarang kita bicara masalah ekonomi. Ouch!

TVOne di sebelahku sedang memaparkan mengapa Pak Harto adalah bapak pembangunan terbesar di Indonesia. Yeah, tapi beliau juga perusak pembangunan terbesar! Tak herankah kau, kawan, mengapa Amerika (ooh, akhirnya) begitu adem ayem saat Pak Harto membantai tiga juta orang? Pandangi kasus Khadafi dan Saddam. Mereka langsung diserbu atas nama "demokrasi" dan "kemanusiaan". Aneh bukan? Menurut buku Dalih Pembunuhan Massal pun, kala itu Amerika menganggap pembantaian jutaan orang di Indonesia termasuk dalam kategori "dapat dimaklumi".

Hmm... mulai disinilah kisah kita bisa panjang dan liar. Seandainya ini bukanlah halaman blog, seandainya ini adalah warung kopi dimana kita bisa ngobrol liar sampai jam tiga pagi. Pasti akan lebih seru! 
Yang pasti sejak saat itulah Freeport dan korporasi-korporasi raksasa Amerika lain masuk bebas ke Indonesia. Masa dimana dana-dana asing seperti IMF berlomba-lomba membanjiri nusantara dengan berkantong-kantong modal. 

Tapi tak ada yang gratis di dunia ini, apalagi kalau itu sokongan militer dan uang dari kaum kapitalis. Entah apa imbalan atas dukungan Amerika pada Pak Harto, yang pasti sejarah mencatat bahwa undang-undang pertama Orde Baru adalah undang-undang yang mengatur tentang penanaman modal asing.

Masa Bung Karno yang lantang berkata "hei Freeport! Menjauh dari Irian Barat! Biarkanlah kekayaan alam diam dalam perut pertiwi nusantara sampai insinyur-insinyur kami mampu menggalinya sendiri!" berakhir sudah. Kini adalah masa dimana Pak Harto lebih memilih berkata, "Halo! Selamat datang Freeport, Chefron, dan kawanannya! Enak jamanku, toh?

* * *

TVOne nampaknya akan mengakhiri perdebatan yang mereka ciptakan. Aku masih menyimak pandangan masing-masing tokoh yang masih ribut, belum seiya-sekata juga.

Jadi, bagaimana pendapatku tentang Jalan Soeharto? 
Ahh aku masih enggan. Kalian bisa sebut aku pendendam. Katakanlah hatiku yang masih setengah matang ini belum bisa memeluk Pak Harto sepenuh hati.
Hatiku belum bisa melihat jalan bernama Soeharto melintasi Istana Merdeka.

Eh, sebelum tulisanku ini diakhiri
Tahukah kalian siapa penyebab Gus Dur mengalami kecelakaan yang membuat mata dan saraf motoriknya terganggu, serta istrinya lumpuh? Yup, siapa lagi ;) 

 Jadi bagaimana? Piye Kabare, Enak Jamanku Toh?


ditulis sambil berpikir,
"seru juga cerita sejarah undercover Indonesia, ya
nanti sambung lagi :) "


12 komentar:

  1. Hah? Gus Dur kecelakaannya disebabkan Pak Harto?

    BalasHapus
  2. gan...boleh tau ga biografi bung karno yg recommended to read tu yg apa y?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada yg judulnya penyambung lidah, ini bukan biografi lagi, autobiografi karena sumber yg bersangkutan langsung

      ane review disini gan
      http://dewacakrabuana.blogspot.com/2010/11/buku-terbaik-tentang-soekarno-dari.html

      Hapus
  3. yah, ini mah musang berbulu domba. di awal tulisan memberi kesan netral walaupun dalam isi tulisan sudah terlihat sisi mana penulis yang akan pilih.

    Sayang, sudah sia sia 10 menit saya baca tulisan ini. my bad...

    BalasHapus
  4. kabare apek2 ae pak...bpk disana gmn? Jgn blng nggak pateken lho pak...hasil dr 32th memimpin, hasilnya utang banyak dan pemimpin bonsai pak...pemimpin2 kerdil spt bapak. Terus terang owe berharap pemimpin indonesia spt Soekarno pak, rakyat berdikari.. Bukan seperti bapak, yg membiarkan neolib mengeksploitasi sda indonesia, dan meninggalkan banyak utang. semoga semua kesengsaraan rakyat ditanggung bapak disana..amin..

    BalasHapus
  5. saya adalah salah satu anak melow yang merindukan keadaan saat beliau pimpin, haha.

    BalasHapus
  6. pasti ad hal2 yg juga dirindukan saat beliau,

    BalasHapus
  7. ojo diungkap yg sisi terakhirnya tentang Gus Dur, hahaha jadi banyak ntar tiba2 haternya Pak Harto

    BalasHapus
  8. Penasaran sm cerita di kalimat terakhir.

    BalasHapus
  9. Penasaran sm cerita di kalimat terakhir.

    BalasHapus

Tinggalkan komentar sebagai name/url, dan tulis namamu di sana...