Hari ini 29 Januari 2014. 
Aku terduduk di kamar kosanku, sudut kota Kupang.
Dan ini hari Siwaratri...

Ahh... hari raya yang keren di benak anak muda. Salah satu yang paling keren, mungkin. Di hari raya Siwaratri, kawula muda bisa secara sah melakukan hal yang biasanya ditabukan: begadang beramai-ramai!  

Metode begadangnya bagaimana?

Terserah masing-masing! Ada yang duduk melingkar, bertukar cerita bersama kawan. Ada yang semalam suntuk ngobrol dengan kekasih. Aku biasanya menjalankan Siwaratri di Pura Jagadnatha Jembrana. Yang pasti, sekitar jam satu usai sembahyang tengah malam, Pasar Senggol Negara akan ramai diserbu umat-umat kelaparan.

Malam Renungan Siwa...
Itu jawaban paling umum saat seseorang ditanyai, "apa sih makna Siwaratri?" Jawaban yang lebih umum lagi adalah, "Siwaratri ya malam peleburan dosa, donk!"

Yap, menurut mereka, tak hanya jaje begine dan pisang sisa banten yang bisa dijadikan leburan. Dosa juga bisa.

Eh, tunggu dulu.
Dosa? Dilebur?

Kalau dosa bisa dilebur, kenapa pula Arjuna yang begitu banyak berbuat dharma malah sempat masuk neraka saat episode "Mendaki Gunung brsama Seekor Anjing"? Benarkah konsep Siwaratri demikian?

Ingatan membawaku terbang ke awal tahun 2003. Sore itu gerimis kecil, aku sedang menyiapkan canang untuk bekal melaksanakan Siwaratri bersama rekan SMP 1 Negara.

Saat itulah kutumpahkan penasaran tentang Siwaratri pada Aji.
Sebagai ayah dengan reputasi mengukir logo lidah Rolling Stones di tembok rumah, sekaligus orang yang dengan rapi menggarisbawahi alenia-alenia majalah Warta Hindu Dharma, ia adalah referensiku mengenai spiritualitas sekaligus musik rock era 80an.

Dan di sana lah kisah ini berawal...

* * *

"Ji..." panggilku pelan membuka percakapan.

"Kalau Siwaratri bisa lebur dosa, kenapa Soeharto ndak ke Bali aja? Lumayan kan setelah banyak buat orang sengsara, tinggal begadang sehari. Beres. Dosa bersih!"

Aji senyum. Sambil berlagak misterius ia menuju rak buku agamanya.

"Ini baca dulu," beliau menyodorkan buku tipis bersampul hitam. SIWARATRIKALPA, judul buku itu kalau tidak salah.

"Agama itu penuh perlambang, De. Jangan diartikan secara harfiah," tutur Aji. "Bahaya kalau diartikan harfiah. Bisa-bisa malah keblinger. Begadang semalam eh ngira dosa seumur hidup dihapus. Baca Mahabharata eh ngira sah-sah saja bunuh guru, keluarga, kalau beda aliran kayak Arjuna. Berabe kan?"

Aku manggut-manggut, dan mulai membaca buku itu.

Buku Siwaratrikalpa diawali dengan sebuah kisah yang telah dihafal dengan baik oleh siswa SD seantero Bali. Asal-usul Siwaratri!

Tersebutlah sesosok manusia. Lubdhaka namanya. Pekerjaan sehari-hari? Berlumur darah, berlinang dosa. Ia memburu hewan-hewan di hutan. 

Seketika pula para pembaca akan memvonisnya masuk neraka. Tapi terjadi hal extraordinary. Suatu ketika ia berburu di malam tilem kapitu. Sialnya, tak seekor hewan buruan pun ia temukan. Anteng saja ia berjalan sendirian di tengah hutan. Tak berbicara (tentu saja, kan sendirian!), tak makan pula. Karena takut diincar binatang buas, ia juga tak tidur. Menghilangkan kantuk dilakukan dengan naik pohon bila di sisi telaga, sembari memetik-metik daunnya.

Tanpa sepengetahuan si pemburu, ternyata dalam telaga itu berstana lingga Dewa Siwa. Si Lubdaka anteng saja memetik daun dan menjatuhkannya ke sana, mengusir kantuk.

Hari-hari pun berlalu seperti biasa. Lubdaka pulang, kembali ke pelukan keluarga tercinta. Beberapa tahun berlalu, selayaknya makhluk hidup, pemburu ini pun tak luput dari hukum lahir-hidup-mati. Lubdaka sakit dan akhirnya meninggal. Karena dosa selalu membunuh hewan, ia dihukum di neraka, di bawah kekuasaan Dewa Yamadipati.

Namun, Dewa Siwa ingin Lubdaka di surga. Lho?

Rupanya ulah Lubdaka melakukan pemujaan di malam Siwa secara tak sengaja itulah yang jadi penyebab. Dewa Yama tentu tak terima, maka terjadilah pertempuran demi memperebutankan arwah si Lubdaka. 

Singkat cerita, akhirnya Lubdaka bahagia di surga.

Tamat!

"Hmm.... Tak bicara, tak makan, dan tak tidur," hitungku dalam hati. Dengan tiga hal ini, aku mulai berkhayal dengan mudahnya akan diselamatkan Dewa Siwa saat nyaris digoreng di neraka-nya Dewa Yama, karena semasa hidupku telah menyakiti hati beberapa wanita.

Tapi sekali lagi, lewat buku yang disodorkannya, Aji mengajariku sesuatu.

* * *

"Lubdaka itu, De...," kata Aji memulai wejangannya, "ya kita ini!"

Aku beringsut, duduk mendekati beliau.

"Lubdaka itu bahasa Sansekerta. Kalau di-Indonesia-kan, artinya pemburu. Aji ini pemburu, kamu ini pemburu, yang baca blog ini (?!) juga pemburu. Semua manusia hakekatnya pemburu. Kita berburu harta, pengetahuan, dan segala pemuas indra lain. Kamu itu Lubdaka."

Aku mengernyitkan alis.

"Lubdaka dikisahkan berjalan di malam yang gelap. Di tilem tergelap sepanjang tahun, yaitu tilem kapitu. Dalam kisah Lubdaka, De, malam gelap itu disebut awidya. Gelap. Tanpa cahaya," lanjut Aji mulai bersemangat. "Harus apa kita kalau sadar berjalan di tempat gelap?"

"Senantiasa terjaga dan waspada? tebakku sekenanya.

"Itulah hakikat si Lubdaka," senyum Aji mengembang sabar. "Berjalan di tengah awidya, Lubdaka melakukan jagra tan aturu. Menghadapi kegelapan, Lubdaka melakukan terjaga, tidak tidur."

"Seperti kata Aji di awal, awidya itu kata bersayap, De. Tersusun dari kata 'a' artinya tanpa, dan 'widya' yang berarti cahaya. Tanpa cahaya. Selain itu, awidya juga bermakna kebodohan atau tanpa pengetahuan."

Das! Saat itu aku paham, mengapa LKS agama ku bertitel Widya Sari. Atau aktris Widyawati yang begitu bercahaya. Ehm.

"Terus, bagaimana caramu melewati hidup yang gelap tanpa berpengetahuan?" tanya Aji retoris, "tentu dengan eling. Tidak terlena. Lubdaka disimbolkan melewati malam gelap dengan Jagra. Jagra itu artinya kan "tidak tidur". Manusia bisa saja tersesat, De... terlena mencari pemuas kehidupan. Ada yang iteh mencari uang, mencari kesenangan. Itu hidup yang awidya. Terjaga lah."

"Lubdaka berjalan sendiri. Tak ada yang diajak bicara. Mona brata. Itu jalan hidup para pencari Tuhan. Pertapa, Yogi, Sufi, kebanyakan mencari sepi, kan? Di saat kamu mengurangi bicara, mengurangi riuhnya dunia luar, pada saat itulah kamu banyak mendengar suara hati sendiri."

"... berjalan di hutan gelap..."

"Suara hati itulah suara Tuhan, De," senyum Aji, "Zainnuddin MZ pernah bilang, Tuhan itu jauhnya tak terkira, namun lebih dekat dari urat leher manusia. Siapa lagi yang berbisik "jangan"saat kamu hendak berbuat curang? Suara hati begitu tulus. Sayang, bila tak dianggap, ia lama-lama semakin hilang."

Aku manggut-manggut.

"Sekotor-kotornya dosa manusia itu, kalau ia eling akan hakikatnya, duduk sejenak untuk introspeksi diri, Tuhan senantiasa akan membuka jalan, De. Kalau menurut Aji sih, itulah makna Siwaratri. Jauh lebih dalam dari sekedar tidak tidur tidak makan tidak bicara dan dosa pun terhapus. Tapi tentu ritualnya harus dijalankan dengan khusyuk juga, kalau kuat!" ujar Aji, menutup wejangannya sore itu.

* * *

Ahh... Aji memang selalu bisa memberi sisi lain dari sesuatu.

Aku pun bangun dari duduk bersilaku, Bergegas mandi dan berangkat ke SMP 1 Negara. Duh, OSIS mesti menyiapkan sarana persembahyangan Siwaratri sebelum siswa-siswi berangkat ke Jagadnatha.



"Percakapan Imajiner Anak dengan Ayahnya"
ditulis di Kupang, bersiap-siap ke pura nanti tengah malam...
... bersama kawan-kawan)
Sabtu pagi, nak lingsir menyampaikan salam pagi bagi jejaka rantau yang baru bangun. Diingatkan untuk senantiasa bermanfaat.

Jadilah Sabtu kemaren jejaka itu mencuci pakaian, pergi berburu baju batik, ke bengkel menyervis motornya, sampai pergi ke tempat cuci motor...

suksma, Mpu...



Aku lupa hari itu hari apa. Entah Senin atau Selasa. Tahun 2012.

Hari itu kami janjian untuk pergi karaoke bersama. 

Seriously, karoke di sini berarti benar-benar bernyanyi. Bukan karoke aneh-aneh, apalagi karoke plus-plus. Kami hanya pergi ke karoke keluarga NAV. 

Kami?
Yup! Kata "kami" mengacu pada sekelompok kawan lama masa sekolahan, yang entah kenapa setelah empat tahun kelulusan SMA berlalu, masih saja suka nongkrong sama-sama.

Kadang-kadang orang melihat ini sebagai keanehan. Seperti misalnya suatu ketika saat kami makan dan ngobrol di McDonald Gatsu.

"Ih Bojes," seru seorang anak perempuan -ternyata teman SMA- menyapa kami yang sedang serius menyusun french fries ke dalam burger. "Masih aja kalian yah, mainnya sama ini-ini aja," sambungnya sambil tergelak.

Yeah... itulah kami. Masih bersahabat sampai sekarang.

Sampai saat ini aku sedang makan bersama Widya, kawan SMA ku. Kulirik penunjuk waktu di handphone. Sudah jam 9.45 petang. Aku dan Widya buru-buru menghabiskan hidangan yang kami pesan di AW. Sebelum bernyanyi tentu perlu isi perut, apalagi harga makanan di dalam ruang karaoke sedikit di luar azas kepatutan. 

"Malunan be ci mecelep, Wa... Cang nyusul njep. Cang ngajak Trisna," begitu balasan pesan singkat Adit saat kutanya mengapa ia belum muncul juga. Baiklah kalau begitu, aku dan Widya pun bergegas masuk ke gedung NAV. Setelah berbincang-bincang memilih ruangan, kami pun segera memulai sesi karaoke.

Tak sampai beberapa lama, satu-persatu mereka mulai berdatangan. PG datang, Bojes datang, Maha datang, Agni datang dan Adit bersama Trisna akhirnya datang. Kami bersama duduk di sofa ruangan karaoke sambil leyeh-leyeh bersantai.

Malam ini spesial, kawan!

Ini adalah malam terakhir Adit di Pulau Dewata. Keesokan harinya ia harus berangkat, terbang ke Kalimantan untuk melaksanakan tugas. Ia baru saja diangkat menjadi pegawai di Aneka Tambang, Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang pertambangan.

Malam ini pokoknya harus gembira! Kami pun mulai memilih-milih lagu, memenuhi playlist.

Namun aura ternyata tidak bisa dibohongi. 
Seberapapun usaha kami lakukan agar terasa ceria, tetap saja terasa ada yang mengganjal di hati. Kulihat air muka kedua pasangan ini. Keduanya memancarkan sinyal rasa sepi di tengah dentuman musik dan sorotan laser-laser hijau kurus khas ruangan karaoke NAV. 

Kami mulai menggoda pasangan yang akan berpisah ini. Berandai-andai tentang hubungan jarak jauh, sampai menyinggung-nyinggung kemungkinan gangguan dari orang ketiga. Haha! Tentu semua hanya bercanda saja, saling ejek khas kawan lama. 

Adit hanya tertawa-tawa, lalu mendadak mencari lagu "Marry Me" di layar komputer. Siapa penyanyinya ah... aku lupa. Yang jelas lagunya bernuansa akustik. Seketika itu pula, Trisna melakukan apa yang disebutkan dalam hukum aksi-reaksi. Ia bereaksi dan memilih lagu berjudul "I do." Penyanyinya? Ah aku lupa juga. Pokoknya lagu bernuansa ceria itu dinyanyikan oleh seorang wanita. 
"I do... I do... I do.. u u u.. u u u u...." begitu lah pokoknya reff lagu ini.

Ini hal seru! Segera kupencet tombol yang menampilkan playlist. Lagu "Marry Me" dari Adit disahuti lagu "I Do" dari Trisna. Kalau di Twitter, ini sudah layak mendapat hashtag #kodebanget.

Kuambil Blackberry Adit. Jeprettt! 
Kufoto layar komputer yang berisi urutan lagu #kodebanget itu. Kupakai juga kamera handphone ku untuk mengabadikannya. 
"Suatu hari nanti," aku berujar pada mereka, "foto ini akan jadi keren!" sambil tersenyum jahil.

Waktu berlalu, minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun.
Semesta seringkali bekerja layaknya penulis novel romantis, dengan menyatukan kedua anak manusia ini dalam hubungan pernikahan.

Lalu di mana foto playlist itu?
Entah di mana. Semesta juga terkadang kejam, memutuskan bahwa handphone ku hilang beberapa lama kemudian, hilang entah kemana beserta semua foto yang telah diabadikannya.
* * *

Halo... Aditya Pringgajaya!

Entah kau masih ingat atau sudah lupa satu penggalan cerita hidup di atas. Penggalan episode hidup yang berakhir di jam satu malam, saat kau masuk ke Yaris putihmu bersama Trisna, melambaikan tangan padaku dan Widya dari parkir di depan ICE. Ah kurasa kau sudah lupa, haha!

Akhirnya kau menikahinya juga, Dit!
Dahulu, kami hanya mendengar selentingan kabar burung, bahwa kau berpacaran dengan seorang bernama "Trisna". Berhubung ia anak SMANSA (hidup FOURSMAAA #fanatismealmamater) tiada dari kami yang tahu siapakah pacarmu itu.

"Ndak tau, denger-denger anak STP," kisah Widya padaku.

Beberapa semester di masa kuliah berlalu, kudengar kau masih bersama "Trisna". Dan kami pun jadi penasaran. Bagaimana bisa seorang chick magnet (faktor 95% kau kupinang jadi vokalis) ini bertahan begitu lama dengan seorang gadis? Mengingat reputasi yang... yah banyak digandrungi wanita sekaligus petualang dari pelukan ke pelukan.

Siapa sebenarnya "Trisna,"? Siapa el matador yang kelihatannya bisa menjinakkan Adit si banteng petualang?

Jawaban pertanyaan diatas baru datang berbulan kemudian.

Hari itu kau pertama kali mengajaknya ke karaoke. Asal kau tahu, Dit, saat itu kami semua sebenarnya enggan. Malas!

Enggan karena karaoke adalah tempat suci untuk kita, eks dua band Foursma yang merasa berbahaya: Don Cry For Me Indonesia dan Instinct yang masih bersahabat erat bertahun setelah panggung terakhir mereka. Ritus karaoke kita tabu dikunjungi kaum wanita. Di sanalah satu-satunya tempat kita yang jarang-jarang bertemu karena kuliah jauh ini bersua sambil menyanyi. Di sana kita duduk bersama. Tertawa, berbagi lagu baru. Persis seperti yang kita lakukan menjelang ulang tahun sekolah dulu.

(mendadak playlist memutar This Way, by Depapepe. Jadi rindu kamar Widya detik ini, ha!)

Dan kau -bisa-bisanya- mau mengajak seorang wanita ke sana, Dit!

Vokalis mengajak wanita ke dalam pergaulan kawan musisinya adalah hal buruk. Itu yang kami percayai. Tanya saja bagaimana perasaan Paul, Ringo, dan George saat bisa-bisanya Lennon mengajak Yoko Ono ikut masuk ke studio: Beatles bubar!!!

Kuingat saat itu kau dan Trisna asik duduk bersama dalam ruang karaoke. Sekilas gadis itu terkesan baik. Ia bahkan selalu mengingatkan Widya dan Maha untuk memilih lagu dan bernyanyi. Entah karena memang bawaannya, atau karena kuliah di pariwisata yang menuntut hospitality. Ia terasa bisa membuat suasana selalu ceria. Itulah kesimpulan kami yang tentunya bercakap-cakap dibelakangmu.

Kemudian saat itu Trisna memilih lagu. Wanita normal tentunya akan memilih lagu Raisa, atau jazz permen ala hipster lainnya sebagai bukti bahwa mereka gadis gaul trendi hasil cetakan MTV dan Instagram. 
Tapi gadismu itu memilih lagu lain...

... "Alone" by Heart.

Oh came on! Slow rock jaman vokalis harus gondrong dengan suara melengking? Selera musik gadismu ternyata oke juga. Tapi nada lagu itu begitu tinggi sampai dia akan tercekik di reff.

Tapi kemudian ia bernyanyi.

Hmm... 

Sial....!!! Malah keren sekali!
Nada-nadanya dapat semua. Semua nada tinggi tersentuh manis. Aku dan PG akhirnya sepakat bahwa mendengar Trisna menyanyikan lagu itu bisa membuat lelaki gay menjadi straight lagi.

Begitulah akhirnya, sampai kedatangan Trisna malah menjadi hal yang kami nanti dalam tiap karaoke. Ia memberi tembang-tembang segar pada daftar lagu kita yang itu-itu saja. Haha! Ia juga rutin hadir di acara manggang. Pertemuannya dengan kami, para sahabat-sahabatmu ini, kian menguatkan kesan:

She's a good girl.
And you are FINALLY good boy! 

Tak ada yang lebih setia dari petualang cinta yang insyaf dan akhirnya bersandar di satu pelabuhan hati, bukan?

Sampai kalian memutuskan untuk menikah. Akhirnya!
* * *

Yeah Dit...
Waktu berjalan tak terasa.

Dan sekarang kau mendahului kami semua merebut titel "suami". Tentu kau pula yang akan pertama menjadi seorang ayah. Selamat kawan!

Aku dan kawan-kawan selalu berharap kau dan keluarga barumu selalu sehat dan berbahagia. Jadilah suami yang selalu Trisna banggakan saat ia mengobrol dengan ibu-ibu tukang gosip satu komplek. Jadilah anak yang selalu diceritakan ayah-ibumu dengan bangga kepada kolega-kolega kerjanya. Nanti, jadilah ayah yang selalu diceritakan dan dipamerkan Adit Junior pada teman-temannya di kelas. Dengan bangga pula!

Untuk kami? Ahh... kau sudah menjadi kawan yang membanggakan.

Hmm... 
Entah siapa diantara kami yang akan menyusulmu lebih dahulu. Aku kah? PG atau Bojes kah? Atau Maha, Budi dan Widya? Mungkin Agni.

Yang pasti..... kutunggu hari di mana kita yang sudah paruh baya duduk melingkar sambil manggang daging. Sembari menertawakan kebodohan dan kesombongan masa muda kita. Sambil mengawasi pemanggangan, kita lirik istri-istri kita yang bercerita sambil tertawa-tawa di kejauhan, melihat anak-anak mereka bermain bersama. Dan anakmu yang paling tua!

Oh fuck yeah.... Hari itu akan sangat keren... :)