"... kisah kali ini ndak ada hubungannya dengan latar foto di atas..."

Pukul 10:33 petang, 31 Desember 2018,
Hujan.

Ini adalah malam penghujung tahun. Sejam lagi kalendar sudah harus berganti dari berangka 2018 menjadi 2019.

Lalu... di malam yang keren ini, di mana kah aku? Apa tengah berpesta di sebuah bar penuh alkohol dan musik DJ? Ah, tidak. Atau bermain meriam karbit bambu bersama anak-anak sekomplek? Fuck no. Atau berkonvoi sembari meniup terompet dan menerobos lampu merah? Tidak. Candle light dinner bersama keluarga? Tidak juga.

For the God's sake! Aku sedang berada di kantor!
Sembari bolak-balik ke Bank Daerah NTT yang jaraknya dekat sini.

Malam pergantan tahun ya, lama sudah kulupakan gegap gempitanya. Sejak 2014, masa aku mulai merasa berkewajiban mengawal masuknya pundi-pundi rupiah ke kas negara. Di detik-detik akhir tahun.

Padahal, kukira aku akan bersantai di pergantian tahun kali ini!
"...salah satu sunrise indah di 2018..."

Kulirik kalender di dinding, dan serta-merta sebuah kutukan meluncur,
"Damn... sudah detik akhir di 2018 kah?"
Makin ke sini, aku rasa teori relativitas makin terasa benar. Waktu itu relatif!

Ternyata, dengan makin bertambahnya angka di kue ulang tahun (if I still get any...) waktu terasa makin laju. Makin cepat berlalu! Jarak hangatnya sunrise di awal tahun, hingga berakhir di ufuk barat senja akhir tahun terasa makin sempit. Kilat saja! Apa engkau merasakan hal yang sama? Rasa bahwa tahun baru kok sudah cepat datang, kalau tak mau dibilang terlalu cepat?

2018. Tahun yang banyak cerita.
Namun, tak ada yang kuceritakan.
Tidak di blog ini.
Sayang sekali... postingan blog-ku di tahun ini nihil.

Apa pasal?
Aku bisa saja membuat sejuta alasan. Dua juta malah! Namun yah itu, cuma fuckin alasan. Aku yang malas menulis sekadar berlindung pada dalih sok keren.

Bisa saja aku berkilah, "Ugh, kesibukanku kan terlalu padat. Santai saja tak sempat, apalagi duduk di depan laptop dan menulis... beuh mana ada waktu?"

Namun dengan mudah alasan klasik itu dipatahkan. Oleh hatiku sendiri. "Jangan sok begitu, ah Wo! Dahlan Iskan aja masih selalu sempat menulis. Tiap hari pula! Kau mau mengaku lebih sibuk daripada pemilik koran skala nasional yang habis transplantasi hati, Wo? No shit!"

Mungkin, salahku ada di tempat lain. Kadang, kuingin tulisanku jadi begitu sempurna. Tanpa cela. Macem biografi daripada Bapak Suharto, maupun jurnal ilmiah dengan materi dan kurasi mendalam. Bagus kan? Ndak juga. Alhasil, semua ide itu malah ngendon di draft. Alias tak ter-posting jua. Kisah tentang Soundrenaline, album baru SID, kisah Aji di rumah sakit, semua teronggok. Tak beranjak dari draft.

Sayang, aku malah memandang blogku sebagai etalase adiluhung. Harus sempurna! Yang tanpa sadar justru membuatku takut mengotorinya. Padahal, dulu aku memandang blog sebagai taman bermain. Ya, taman bermain!

Sebuah tempat aku berkeluh kesah. Bercerita tentang naifnya diri ini dalam rangka melawan dunia. Semacam kamar pribadi, yang tentu aku sukai. Di sana, aku bebas memuntahkan apa saja. Agar ia jadi mesin waktu, pembuatku eling akan pengalaman lampauku di masa depan.

Aku jadi ingat perasaanku kala menulis.
Duduk bersila di depan laptop, dengan kopi di tangan kiri dan jiwa punk meledak-ledak di tangan kanan, "oke dunia, akan kulawan engkau sekarang!" Perasaan yang menyenangkan, meski kuakui berat untuk dimulai.  Butuh tekad, butuh niat yang bulat.

Seperti aku saat bangun pagi memandang mentari terbit. Kalian bisa bayangkan betapa menggodanya menunda barang lima menit untuk bangun pagi itu? Haha... snooze!

Dalam hal menyaksikan mentari terbit, bila mata dan niat kupaksakan, nikmatnya akan berlipat. Mentari hangat yang mengintip-intip di ufuk timur, langit gelap yang misterius namun menyegarkan, yang menjanjikan kita cahaya terang asalkan mau bersabar. Sabar untuk bangun, bersabar untuk menanti.

Matahari pagi selalu menyenangkan, namun jarang didapatkan. Jarang pula diagungkan anak indie pemuja senja.Sunset begitu dipuja mungkin karena memperolehnya tak perlu usaha seberat bangun pagi. Kan anak indie hobinya begadang. Mungkin.

Mungkin juga menulis itu seperti melihat mentari pagi ya? Sama-sama butuh tekad, sama-sama berat, namun seandainya berhasil ditaklukan, sensasi yang dijanjikan begitu menyenangkan!

Lalu, aku ingin merasakan sensasi itu.
Lagi
Seperti dulu.
Agar bisa menepis pertanyaan pribadi yang senantiasa mengejekku tiap membuka Chrome atau Firefox...
"Hey... apa kabar blogmu dan Kulkulbali? Benar-benar ingin hidup, atau sekadar menolak mati?"
Nah, ayo ngeblog lagi.
Ayo bercerita lagi!


Ruteng, the night before Christmas
di tengah jeduran mercon dan kembang api