...penyebutan gampang dari "sesajian, alias "banten"

Orang-orang Bali mengenal sebuah konsep; Tri Hita Karana namanya. Apa artinya? Tiga Penyebab Kebahagiaan. Bagi orang Bali, ada tiga hubungan yang harus dijaga keharmonisannya, demi tercapai kebahagiaan. Apa saja?

Pertama, Parahyangan. Hyang, harmonis dengan Sang Pencipta.
Kedua, Pawongan. Wong, harmonis dengan sesama manusia.
Terakhir, Palemahan. Harmonis dengan lingkungan dan alam.

Nah, harmonis dengan lingkungan dan alam.

Alam tak hanya berarti pohon, air, dan sejenisnya lho ya. Juga yang lain 😁, yang tak kasat panca indra. Menjalin hubungan harmonis ini bukan berarti takut. Apalagi takluk! Cukup hormat. Respek. Bahwa kita sadar, hidup bersama di dunia ciptaan-Nya.

Bila antar umat beragama di Bali mengenal istilah "ngejot", saling berbagi kue saat hari raya Lebaran maupun Galungan dengan tetangga yang berbeda agama, maka sujatinya sajen juga seperti itu. Orang Bali menyakini bahwa penghuni alam selain makhluk nampak itu ada. Nah, siapa coba, yang menciptakan mereka selain Sang Maha Pencipta sendiri?

Haruskah mereka dimusuhi?
Atau malah disembah-sembah?
Di Bali jawabannya: Tidak juga.

Mereka cuma tetangga. Saat kita -yang konon makhluk paling berakal- memiliki makanan lebih, dan kebetulan mereka suka wewangian, tak ada salahnya berbagi, bukan? Agar harmonis, agar tercapai Hita, kebahagiaan.



Sajen bukan berarti menyembah demit, sebagaimana ngejot bukan berarti menyembah tetangga. Ia hanyalah wujud rasa saling menghormati, demi menjalin hubungan harmonis pada sesama penghuni alam, sesama makhluk ciptaan Sang Pencipta. Jangankan manusia, dengan makhluk tak kasat juga harus harmonis.

Begitulah ajaran dasar di Bali.

Jadi, apa masih kah engkau saat berjalan di tepi Sanur dan melihat rangkaian janur, bunga maupun dupa di sebuah pohon akan bergumam,

"dasar orang-orang penyembah dedemit..."
Kah?
Semoga tidak...

Kalo iya juga ndak papa...



(masih) nuansa Galungan-Kuningan