Siang ini tak jauh beda dengan siang-siang hari kerja lainnya...

Aku sedang  duduk disini, di meja kerja ku.
Kadang, duduk disini membuatku merasa menjadi sebuah layar di bioskop tua. Dihadapku berjejer korsi-korsi plus senderan empuk, membentuk kolom dengan lorong di tengahnya; persis bioskop kan?! 


"layar tancap tua..."
Disanalah duduk manusia-manusia letih setengah ngantuk, setengah bosan, dan entah setengah apa lagi. Tapi anehnya mereka masih saja menghadap ke depan. Menghadap ke depan, berarti menghadap ke arahku.

Seringkali begitu perasaanku saat menjaga loket di kantor ini: perasaan sebagai sebuah layar tancap tua di hadapan penonton yang bosan! :o

Tapi hari ini adalah hari yang spesial, paling tidak buat dua sahabat masa kecil ku. Hari ini, enam Februari, adalah hari ulang tahun mereka. 

Siapa saja mereka?
Yang satu,  Guz Anggara namanya. Dialah partner in crime-ku, yang biasa kuajak pergi kemana-mana sejak masih bau kencur. Dari melasti naik motor ke pantai Yeh Kuning, mencari celana army di Hardy's, sampai sekedar menengok pameran di Pergung. Bahkan namanya sempat nongol di salah satu blog ini; episode Sejarah Gitar Merah Darah.
(klik link diatas untuk membaca)

Yang satu lagi (mungkin) satu-satunya sahabatku yang berasal dari Desa Budeng. Namanya Pebi Cahyana, meski ia lebih suka menyebut dirinya Feby: dengan huruf F dan huruf Y. Lebih trendy.

"Ooo... mereka ternyata ulang tahunnya sama", gumamku yang sedang multi-tasking, melayani orang yang datang ke loketku sambil melirik information bar di Facebook. Oh, mari ucapkan beribu terimakasih kepada Facebook. Berkatnya, kini mengingat ulang tahun teman begitu mudah.


Kalau aku yang ulang tahun, aku selalu senang bila kawan lamaku masih saja ingat ulang tahunku. Apalagi sampai mengucapkan selamat. "Seandainya punya Blackberry..." kutukku dalam hati, "...pasti lebih mudah ber-halo-halo pada kawan-kawan lama, yang semuanya emang pakai BB!". Berhubung tak ada, Twitter cukup lah jadi perantara untukku sekedar mengucap selamat ulang tahun.

Sambil tetap melayani orang-orang yang silih berganti, kutulis selamat ulang tahun di lini-masa mereka (dengar-dengar, timeline itu diterjemahkan jadi lini-masa, ya?). Klik, tik, klik, tik, saling berbalas tweet pun terjadi. Kutulis tweet selamat untuk Guz Anggara, kutulis pula tweet untuk Feby. Basa-basi khas teman lama pun terjadi disana, haha-hihi yang tak berawal, tak berakhir, tak jelas pula. Haha!

Iseng terlintas hal-hal lama di kepalaku. Hal-hal berbau nostalgia. Tanpa pikir panjang, kutuliskan saja itu, hal kecil yang dulu sering kami lakukan saat masih bocah.
Dass... kutekan enter.


Kulupakan tweet itu. Kembali kulayani orang-orang yang datang untuk mengurusi keperluannya dan mendatangi meja ku. Sedang asyik menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, muncul notifikasi mention di layarku. Feby membalas tweet.

Klik... klik... kubaca apa isinya...

... dan aku merasa kena stun tiga detik. :o
"... selama saya SMP..." katanya
Sudah kapan kah masa itu?"   

Astaga, itu sudah sepuluh tahun yang lalu... :|

Entah karena lagu Home milik Buble yang tak sengaja terputar -atau entah karena apa- slideshow kota kesayangan, Negara terlintas di kepalaku. Aku jadi ingat dengan masa-masa saat aku masih disana, jadi bocah kencur yang baru masuk di one of collest school: SMP Negeri 1 Negara.

Ternyata itu sudah sepuluh tahun...
... sepuluh tahun sejak sebuah motor Supra datang tiap jam lima subuh di hari Selasa. Seorang ayah sederhana, dengan ibu berbonceng di belakangnya akan berhenti dan membunyikan klakson sekali di depan rumahku. Aku yang masih bau kencur akan setengah berlari, bergegas membuka gembok gerbang. Si anak yang tadinya meringkuk di ujung jok depan dengan kaki dilipat (bisa kau bayangkan, saat anak kecil dibonceng naik motor dan duduk di depan), akan turun. Setelah mengambil tas sekolah yang sedari tadi digendong sang ibu, anak itu baru akan masuk ke rumahku setelah ayahnya selesai mengucek-ucek rambut si anak kebanggaan keluarga ini, sambil berpesan "melahang di sekolah..." 


Siapa kah anak itu?
Itulah Feby, kawanku!

Apa dia benar anak kebanggan harapan keluarga?
Tak akan ada orang tua yang mau mengantar seorang anak di jam-jam segitu bila tak bangga. Dan lagi, anak ini adalah salah satu dari sepuluh besar lomba murid berprestasi di Kecamatan Negara. Jadi, bisa dibilang dia murid terpintar di Desa Budeng! And hell yeah, his parents should be proud!

Apa yang seorang anak gadis lakukan jam segitu di depan rumahmu?
well...
Sekolah kami punya kebijakan canggih agar si anak bisa olahraga penuh, tapi -setelah berkeringat- tetap bisa pulang untuk mandi, sekaligus tepat waktu untuk mengikuti pelajaran jam sembilan. Kebijakan canggih itu adalah: memajukan jam olahraga!

Satu lagi, errr.... sayangnya Feby adalah seorang anak lelaki, haha! :D

Apa kah kau benar-benar berbau kencur? Bagaimana pula bau kencur itu?
Aku tak tau bau kencur itu bagaimana. Apa itu penting buatmu? Just stop this stupid question, and let me continue my story!

Hmm...
Aku jadi tersenyum mengingat masa-masa itu. "Sudah lama ya..?" aku mulai menghitung mundur, "... sekarang tahun... duaribu tigabelas, satu tahun nganggur, tiga tahun kuliah, SMA, SMP, hah... sudah sepuluh tahun???"


Memang, aku tau masa-masa itu sudah lama, tapi baru kusadari kalau ternyata sudah selama itu.
*  *  *

Ada sedikit rasa letih terlintas juga, berbarengan dengan kesadaran. Ternyata banyak yang sudah kulewati! Kejadian kost sendirian di masa SMA, kejadian makan mie lima hari karena kehilangan-uang-tapi-segan-kehilangan-muka-untuk-mengaku-pada-orang-tua, kejadian berangkat ke Jakarta dengan Aji, kejadian malam pertama di Jakarta, lalu kuliah... 
Hingga kini aku duduk di kursi ini, dan sudah bekerja.

Sudah jauh ya...?
Sudah jauh kah, mungkin...?
Mungkin sudah.


Aku merasa sudah berjalan sangat jauh?
Sama sekali belum. Harus malu lah aku bila merasa begitu! Seorang sahabat, sang vokalis bandku (aku bahkan tau dia harus jadi vokalisku sebelum mendengarnya menyanyi) kini berada di nun jauh di Kalimantan sana. Wow... ia bahkan sedang menjelajah di Bumi Borneo! 

Ternyata, semua burung-burung itu telah terbang meninggalkan sangkar, mencari kehidupan, untuk melihat aneka rupa dunia. Ada yang jauh di pulau seberang, ada yang dekat di kabupaten sebelah. Semua sesuai skenario cerita hidup masing-masing; semua terbang meninggalkan sangkar. 

Meninggalkan sangkar?!
yeah... perjalanan itu tidaklah mudah, tidak pula mulus. Burung-burung itu masih belia kan? Bagaimanapun berat jalur terbangmu, janganlah sekali-kali anggap burung lain punya jalur perjalanan yang lebih mudah darimu. Yang lebih sedikit angin, sedikit badainya. 

Tak percaya? Lihat ini... 
Seorang sahabatku, seekor burung kelas berat (man... badannya dia benar-benar berat!) yang hartanya gila-gilaan berkat toko aksesoris yang suskes besar, pun mengalami jalur terbang yang sulit. Cerita hidupnya berliku, banyak pasang surut. Pun dengan burung lainnya, sahabatku yang dianugerahi tanggung jawab mahaberat di holding perusahaan bisnis keluarga. Ia punya tembok seorang ayah yang hebat, tembok tinggi untuk dilampaui. Berkali mereka jatuh, berkali itu pula mereka terbang lagi. Tak ada yang tau, seberapa bersusah hati dalam benak kedua burung belia ini  -kecuali dirinya-. Tapi mereka selalu berusaha tetap terbang.

Ah kawan, kalian lah para burung-burung gagak yang sedang terbang sendiri. Gagak? Ya, aku sebut kalian para gagak. Aku tau kalian lebih suka dipanggil gagak, karena kita semua suka Genji dan Serizawa.... haha :D ! 
Dimanapun kalian berada, kawan, bagaimanapun skenario yang disiapkan Sang Ilahi, Hyang Widhi, Yahweh, Yesus -atau apapun manusia mencoba menyebutnya-sekarang dan nanti untuk kalian, berapa banyak tahun lagi yang akan mencerabutmu dari sangkar kesayanganmu... entah itu sepuluh, duapuluh, tiga puluh tahun, atau persetan berapa...

Kutunggu kau... :) 
.... suatu hari nanti di sangkar itu lagi, kawan!

Kalau saatnya sudah tiba, pulanglah ke sangkar itu. Ceritakan lah padaku bagaimana rupa dunia dari tempatmu terbang. Pasti keren sekali, ya... aku akan senang sekali mendengarmu bercerita nanti, tentang kau dan perjalanannmu. Mungkin kau bercerita sambil membawa pulang induk gagak cantik jelita untuk anak-anak gagak kebanggganmu. Mungkin, siapa tau?

Nanti, akan kuceritakan pula apa yang kulihat dari sini, dari atas tempatku terbang sekarang.

Kutunggu ceritamu, kawan kecil! ;)


Ditulis sambil mengganti lagu Home, by Bublee...
now playing: Hitam Putih Dunia by Rocket Rockers!!!


Kenapa engkau merusak kantor calon kepala daerah yang mengalahkanmu?
"Semua orang melakukannya," jawab Harahap, S.H.

Kenapa engkau menaikkan nilai proyek pembuatan jembatan hingga berlipat kali?
"Semua orang melakukannya," jawab Drs. Hadu

Kenapa engkau tidak mencegah sebelum orang melanggar rambu, melainkan menunggu di kegelapan untuk mencegat pelanggar?
"Semua orang melakukannya," jawab Aiptu Sudibyo
Manusia hidup untuk apa?
Apa yang kita cari? 
Apa yang kita kejar?

Some people berpikir hidup untuk mencari uang. "Kerja gini aja nanti, biar banyak uang"; "Kuliah di anu aja biar nanti kerja gampang..." "Kejar anu, miliki ini-itu biar bahagia..." begitu pesan yang sering dicekoki ke kepala anak-anak...

Really? Itukah?
Entah, aku juga tak tahu...

Tapi, setelah melihat gambar ini, pikiranku sedikit tersenyum. 

Masih belum nemu jawaban tentang hidup, sih, tapi jadi senyum.

Sumber gambarnya dari sini:

Bila Dumbledore, Songoku, Gandalf, dan Gandhi percaya kalau cinta adalah kekuatan yang paling hebat, maka aku juga percaya :)


Sore ini sepi di kota Negara. Kuambil earphone, duduk ku di teras sambil memandang jalan depan rumah. Sepi. Kucolok 3,5mm jack di handphone, menu music kupilih, dan lagu ini kuputar.




"... ghost in my head..."
"... Just look up to the stars...
"... And believe who you are...
"... Cause it's quite alright..."
Entah di mana, pernah kubaca semacam percakapan Bung Karno dengan seorang anak kecil. Kureka ulang percakapan itu dengan kata-kataku sendiri.
"Nak," sapa Bung Karno pada seorang anak Indonesia, "Hayo, duduk di sini, di sebelah Bapak. Bapak punya cerita!"
Si anak langsung beringsut, mendekati Bapak sambil menampakkan wajah penasaran. "Cerita apa, Pak?"

"Dulu, dunia ini dihuni oleh raksasa-raksasa. Ya, raksasa!" Bung Karno memulai kisahnya. Reaksi si anak yang tadi penasaran langsung berubah kecut.


"Oh! Aku kira cerita serius... raksasa... 😒 ada-ada aja Bapak ini."


"Serius ini Nak, benar-benar raksasa," tangkis Bung Karno tersenyum jenaka. "Sekarang dengar ceritaku, dan kau akan terpukau 😉 "
* * *

Sampai detik itu, aku juga mengkerutkan dahi. Persis anak kecil diatas. Aku kira Putra Sang Fajar akan menceritakan filosofi Pancasila, perjuangan rakyat-rakyat Asia Afrika, atau kisah nyata heroik lainnya. "Cerita Raksasa"? Hah... cuma cerita dongeng.
Tapi, ternyata aku salah kira. Salah besar!

* * *

"Dulu, Nak, raksasa-raksasa itu benar-benar ada di dunia. Mereka berjalan seperti kita di atas tanah yang sama kita pijak, tapi mereka bukan manusia biasa. Mereka raksasa!"

Bung Karno berhenti sejenak, melihat reaksi si anak yang masih kebingungan, lalu ia melanjutkan. "Raksasa itu ada yang bernama Napoleon, raksasa itu ada juga yang bernama George Washington, Jefferson, Karl Marx, Lennin, ada pula yang namanya Hitler, dan banyak lagi raksasa-raksasa gagah berani lain!"

"Mereka bukan raksasa, Pak!" sergah si anak, emosi. "Mereka manusia biasa. Bahkan Napoleon badannya kecil, jauh dari raksasa, sampai-sampai dipanggil Le Petit Corporal, si Kopral Kerdil"


"korporal kecil hobi baca"

Kali ini Bung Karno tersenyum lagi, "Heh Nak... kuno sekali caramu memandang dunia. Sampai kapan manusia terobsesi pada ukuran terus. Ukuran tak pernah jadi patokan, camkan itu. Gandhi-pun disebut orang besar, tapi badannya kecil sahaja, bukan? Jadi apa yang membuatnya jadi orang besar?"

Mata si anak mendongak, menunggu jawaban...

"Tidak lain tidak bukan, adalah pemikirannya. Ideologinya. Dulu dunia seru dan berwarna karena para raksasa. Raksasa dalam pemikiran dan pendirian. Raksasa ideologi yang membuat dunia jadi berwarna-warni, jadi bergelora!" tukas Bung Karno.
Bung Karno bersama para pemimpin dunia


"Ah... aku tahu yang kau kau pikirkan," sergah Bung Karno saat melihat air muka sang anak hendak menyela, "Ya, ya, banyak yang bilang mereka penjahat, orang kejam, bahkan orang gila. Jangan pernah percaya sepenuhnya pada sejarah, Nak, karena sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Contoh mudah saja, bila Indonesia tak merdeka dan masih dijajah Belanda, aku yakin kau akan diberitahu lewat buku-buku sekolahmu bahwa aku adalah seorang pemberontak, seorang bandit celaka!"
(lebih lengkap tentang demonisasi tokoh sejarah bisa dilihat di sini)

"Ah, aku rindu dunia yang dulu..." kata Bung Karno, menerawang," George Washington membawa angin baru  menampar imperialisme Inggris dengan Declaration of Independent, Karl Marx melahirkan ideologi baru demi nasib kaum buruh di Eropa. Hitler, Napoleon, semua orang kecil yang mampu memukau jutaan rakyat mereka. Tak masuk akal bila mereka jahat sempurna, sementara mereka berdiri di depan jutaan rakyat yang mendukung dengan berapi-api."

Che Guevara menyambut pemimpin Gerakan NonBlok
"Merekalah raksasa-raksasa yang tidak sekadar numpang hidup di dunia, mereka ikut memelintir, memeras, membentuk dunia yang mereka hidupi itu! Berusaha mewujudkan cita-cita pemikiran, menularkan gagasan dan ide-ide baru pada dunia. Mereka raksasa-raksasa yang sangat hebat 😊 !"

"Bagaimana dengan duniamu, Nak? Masihkah ada raksasa disana? Masihkah ada orang berhati seluas dan sekeras samudera yang semangatnya memukul-mukul dunia?"


* * *

Aku mendadak teringat pada kata-kata Ayahku di rumah dulu. Saat itu aku libur dari kuliah di Jakarta, dan kami duduk selonjoran di teras sambil melihat matahari tenggelam di sudut Kabupaten Jembrana yang sepi.

Kutanya dia, "Ji, dulu, inget nggak pas Aji mengkritik togel yang marak di Jembrana via Balipost? Sampai pas aku pulang dari sekolah, aku lihat Aji lagi diintogasi tiga intel di rumah sambil nunjuk-nunjuk aku."


"Ingat lah..." kata Aji ku sambil nyengir. "Besoknya dipanggil ke kantor polisi buat diintrogasi lagi. Tiga jam, haha 😄 !"

Kutanyai lagi, "ngobrolin apa aja di sana?"

Aji ku berkata, "Polisinya bilang gini, Bapak sadar nggak kalau Bapak ini membuat banyak orang tidak nyaman karena "pemasukannya" terganggu? Aji langsung aja tunjuk kamu yang lewat pulang dari sekolah sambil bilang gini: Saya selalu suruh anak baca Vivekananda, buku yang Soekarno baca kala di penjara. Saya suruh dia ingat kalimat di bab I halaman 3 yang digarisbawahi Bung Karno, katakanlah hanya kebenaran walaupun sedang ada ujung pedang terhunus di lehermu."

Aku manggut-manggut, dan Aji melanjutkan, "camkan baik-baik ini, De, ini kata Zainnudin MZ. Saat kita mati nanti, Tuhan akan bertanya "apa yang sudah kau lakukan", dan bukannya "apa yang kau lakukan berhasil atau tidak". Pegang prinsip, punyai hati raksasa walau badan kecil..."



(ditulus sambil berfikir....
"cerita ini butuh sekuel... ;)"
Bila ada hal yang mengganjal di hati dan otakmu dan itu membuatmu ingin menyampaikan sesuatu padaku, -pertanyaan, saran, tanya kabar, rekomendasi tempat makan cozy, anything :o !- kau dapat menghubungiku via...
"click to see my G+"


Google+?
Bukan Facebook, atau Twitter?

Entah, aku nyaman disana. Mungkin karena masih sepi, mungkin karena privasi sangat dihargai disana, mungkin karena aku bisa berbagi hal tepat ke kelompok sahabat yang tepat dengan vitur circle-nya, mungkin karena vitur sparks-nya membuatku membaca berita berkualitas berdasarkan tema kesukaanku, mungkin juga karena dari sana aku bisa mengakses semua layanan google yang terintegrasi jadi satu...
Ah... kok jadi promosi... :x