Menyusun nama bukan perkara sederhana.
Kata orang "susah-susah-gampang": susahnya dua, gampangnya satu.
Kadang malah: susah-susah-susah. Susahnya tiga!

Apa lagi untuk buah hati yang telah lama dinanti. Sejak pertama embrio nongol di layar USG, hingga saat tangisnya memecah dunia di ranjang persalinan, pergolakan tentang nama di kepalaku tak pernah berhenti.

Bagaimana tidak?
Nama itu akan putriku sandang sejak lahir hingga akhir hayat. Setiap orang tua -aku yakin- telah berusaha menyematkan nama terbaik untuk anaknya.

Akhirnya, kuputuskan sebuah nama:
Dewa Ayu Putu Vanesha Vedantari
Dewa Ayu Putu...
... Vanesha Vedantari...

Nah, beberapa bulan terakhir sering kudengar pertanyaan dari bibir -atau dari kernyit mata- beberapa kawan. Mungkin hatinya bertanya-tanya.

"Wo, kamu kan suka nulis, pasti namanya sastra banget!"
"Ndak isi Soekarnoputri? Lahirnya pas enam Juni, lho!"
"Namamu kan Cakrabuana Aristokra, kirain anakmu bakal Tribuwanatunggadewi Sokrates."
"Pas COVID nih, isiin Karantinawati atau Iluh Corona gitu..."

Untukku pribadi, menggali nama untuk anak layaknya sebuah perjalanan. Tak mudah, panjang, banyak merenungnya. Lihat saja 32 orat-oret yang kubuat di Google Keep, sejak berbulan sebelumnya.

...tantangan menggali sebuah nama...


Ini kisahku, tentang menggali nama putri pertamaku.
Catatan seorang overthinker
*  *  * 

Nama Erat dengan Era
Layaknya busana dan musik, nama adalah karya seni. Masuknya di ranah selera. Seni menamai anak itu ada trendnya.

Contohnya awal 1900, saat Belanda masih bercokol di Nusantara.
Kala itu, para orang tua memiliki rumus baku. Pokoknya pilih satu kata, lalu beri awalan Su-.
Singkat nan padat!

Bagi penduduk Jawa dan Bali yang gemar nonton wayang, awalan su- berarti "baik". Nama Sukarno berasal dari Karna, kakak dari Panca Pandawa. Ada juga Suharto, Suroso, Sumantri, you name it!

Lanjut ke era '45!

Di masa ini, api kemerdekaan menjalari dada. Jangankan anak, pejuang muda bahkan mengubah namanya sendiri. Hanafi menjadi A.M. Hanafi: Anak Marhaen Hanafi. Ahmad Aidit menjadi D.N. Aidit alias Dipo Nusantara Aidit. Yang satu digelari Bung Karno dari ajaran Marhaenisme, yang satu terinspirasi Diponegoro dan Nusantara. Pokoke bernuansa revolusi!

Lanjut ke perihal nama pasca '65!
Nah, yang ini agak ndak enak.

Bila Bung Karno memiliki menteri kesayangan bernama Oei Tjoe Tat, Pak Harto justru melarang nama bernuansa Tionghoa. Misal orang yang bernama Tan dipaksa berubah jadi Gunawan Tanuwidjaya. Atau Tanusudibyo. Atau Istanto. Pokoknya ndak boleh berbau Tionghoa.

Tak hanya nama. Perayaan Imlek, ajaran Konghucu, hingga barongsai juga dikekang. Akhirnya, Gus Dur-lah yang membuka belenggu budaya ala Orde Baru.

Oke lanjut.
Tak hanya politik. Ranah sosial juga punya kisah.

Di era 70'an, seorang ibu bernama Ngatiyem melahirkan putra pertama. Diberi nama Agus Cahyadi, biar modern. Saat Agus punya anak di awal 2010, ia menamai anaknya Nur Afifah Zaskia. Alhamdulillah!

Bali juga sama. Di tahun 70'an, I Nengah Semer menamai anaknya I Gede Agus SudarsanaAwal 2019 kemarin, Sudarsana punya anak bernama I Gede Narendra Adhirama Bhaskara.

Dalam tiga generasi, Ngatiyem berubah menjadi Nur Afifah Zaskia. I Nengah Semer menjadi Narendra Adhirama Bhaskara. Yang satu islami, yang satu indiani. Memang setelah Orde Baru tumbang, gerakan bernuansa religius puritan makin populer di nusantara.

By the way, punyakah kalian kawan yang namanya Habibie? Di kantorku ada dua. Saat SD dulu juga ada satu. Biasanya "para Habibie" ini lahir tahun 90'an hingga menjelang Orde Baru tumbang. Begini ceritanya.

Bapak Habibie kala itu dikenal sebagai ahli pesawat terbang kelas dunia. Beliau juga Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Habibie digadang-gadang menjadi suksesor politik daripada Pak Harto. Beliau adalah sosok dengan iptek dan imtaq paripurna!

Karena nama adalah doa dari orang tua, jelas "Habibie" adalah doa idaman kala itu.

Capek obrolin politik?

Yuk beralih ke dunia hiburan. Tersebutlah Aiden, Marlyn Manson-nya punk yang harum di era 2000'an. Aiden adalah salah satu band idolaku sejak masih SMA. Cek lagunya yang berjudul "Die Romantic" dan "The Last Sunrise". Gagah!

Tapi cek lagunya nanti saja. Sekarang tengok komentar netizen di halaman YouTube mereka.

...Marilyn Manson-nya punkrock...

Masih ada lagi. Kali ini dari layar kaca.
Tahu Game of Thrones? Sejak season pertama, Daenerys Targaryen menjanjikan sosok yang sempurna. Cantik, mistik, berjiwa pemimpin, keibuan, demokratis. Banyak ibu yang menamai anak gadisnya Daenerys atau Khaleesi.

Sayang, di season terakhir, ratu idaman pemirsa berubah menjadi Hitler versi perempuan! Para Daenerys ini akhirnya mengalami perundungan di sekolahnya.

Kasihan ya. Bila ingin menamai berdasarkan serial televisi, lebih bijak ditunggu sampai tamat dulu. Siapa tahu malah belok jadi antagonis. Dracarys!
... di Amerika Serikat, 4.500 anak bernama dari Game of Thrones...

Hmm... ternyata menamai bukanlah perkara yang merdeka-merdeka banget.
Ada banyak unsur yang mendefinisikan coolness nama di tiap era. Jelas mempengaruhi orang tua saat merumuskan nama anak.

Nah bagaimana dengan anakku?
*  *  *


More About Her? Us? or Else?
Andai nama anakku isi Aristokra-nya. Misal jadi Dewa Ayu Putu Vanesha Aristokra. Mungkin saat ia dewasa akan terjadi percakapan begini:

👧: Jadi, nama Vanesha sepanjang itu, Jik ya...
👨: Iya, Nak... lama lho Ajik mikirnya.
👧: Terus, "Dewa Ayu Putu" itu nama keturunan, kan?
👨: Benar. Dewa Ayu dari garis keluarga ayah. Putu artinya anak pertama. Tradisi.
👧: Nama belakang aku kan Aristokra. Jadi dari lima kata, aku cuma kebagian seporsi? Tiga tentang tradisi, dan satunya nama Ajik? Kok sedikit.
👨: Errr... Aji bisa jelaskan...
👧: Coba jelaskan....
👨: Err... Aji tidak bisa jelaskan :(

Dialog khayal macam ini sering menghantui. Apakah ia akan distempeli nama belakangku? Ia akan mudah diidentifikasi sebagai: "oh pasti anaknya Dewa ya?" oleh kenalan yang bertemu dengannya kelak. Berapa sih, kawanmu yang punya nama belakang Aristokra?

Bukan, memberikan nama belakang keluarga bukan hal buruk. Malah baik. Tanya saja Ibu Mega, Mas Ibas, atau selebgram Enya Blanco dan Tari Mantra.

Ndak usah aja kali ya. Kan, nama depannya juga sudah berunsur dari luar dirinya: keluarga dan tradisi.

Aku kok ingin hidup anakku more about her, ya? Bukan kisah Aristokra II, atau Purnama Dewi Sequel. Aku percaya, if you love someone, set them free. Layaknya bernegara, kalau beneran mencintai rakyat, pasti memberi kebebasan bernama demokrasi.

Sosok yang salah mengartikan ego-obsesi jadi cinta, pasti jadi mengekang sang kekasih. Negara yang tak cinta rakyat, pasti akan bertindak represi. Curiga dan memata-matai. Harusnya cinta menumbuhkan rasa saling percaya, kan?

Jadi jawaban atas pertanyaan, "mengapa nama anakku tak diakhiri dengan nama belakang Aristokra atau Dewi, adalah..."
"... karena aku terlalu cinta anakku. Aku percaya padanya. Kuingin kisahnya more about her --sejak dari nama. Toh, nama depannya sudah ada unsur dari keluarga. Cukup lah. Biar anakku yang berkisah sendiri di tiap lembar hidupnya. Tentu, aku akan selalu ada... Untuk membantu, bukan malah membelenggu."
Bahwa, sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa...
... dan setiap insan!
*  *  *

Terus, Kenapa Vanesha?
Nah ini ceritanya unik. Aku punya kawan, namanya Adit. Kami kenal sejak masih SMP di Jembrana dulu, hingga kini. Tahun 2008, Adit mengambil kuliah di Australia. Layaknya sobat kecil yang libur tahun ajaran, kami pasti sempatkan waktu untuk kumpul. Ngobrol ngalor-ngidul.

Adit memulai critanya. "Awal-awal sampai di Australia, Wo, ada cerita lucu nok."
"Heh... gemana itu," tanyaku penasaran. 

"Saat perkenalan awal kan aku bilang, Hello... My name is Adit. Orang-orang di sana malah bingung. What? Addey?"
"Kacau nih, mereka susah melafalkan. Aku tegasin lagi. No, my name is ADIT. Alpha Delta India Tango. A-D-I-T!" 
"Mereka masih bingung, mungkin karena lidahnya beda. Oh... so your name is Addy, Eddy... oh hi Eddy."

Adit malah ngakak. "Ya sudah lah. Karena mereka susah melafalkan, jadi aku dipanggil Eddy selama di Australia!"

Cerita di atas membekas lama di kepalaku. Ternyata, dunia makin borderless, makin bercampur-baurAyahku merantau sejauh Tabanan menuju Jembrana. Aku sempat hidup di Jakarta, Kupang, dan Flores. Istriku malah sudah ke penjuru Eropa hingga Alaska.

Pantai favorit ayahku adalah Baluk Rening. Aku suka Gili Trawangan. Istriku selalu berkata bahwa Quebec adalah pantai favoritnya.

Itu cerita di generasiku. Bayangkan, hidup macam apa yang akan dilewati oleh anakku dan kawan-kawannya? Ia akan memfavoritkan pantai mana? Dengan siapa ia akan berjumpa? Entahlah.

Karena itulah aku memutuskan nama Vanesha.

Vanesha -dengan suku kata sha- masih senada dengan Ganesha: dewa perlambang pengetahuan dan kecerdasan yang jadi logo kampus Bung Karno: ITB. Huruf V sering dipakai dalam pelafalan Sansekerta yang diindonesiakan. Shiva jadi Siwa, Div jadi Dewa, Varuna jadi Baruna. Aku merasa ada kesan feminim dalam kata "Vanesha".

Nama Vanesha rasanya mudah diterima siapa pun, dari belahan bumi mana pun. Meski begitu, akar tradisinya masih kuat. Dalam bahasa Sansekerta, Vanesha bermakna murni, bersih, dan pure. 

Menurut bahasa Yunani kuno, Vanesha juga bermakna butterfly. Makhluk cantik yang bermetamorfosis dari ulat menjadi makhluk bersayap, indah, dan membantu eksistensi alam lewat penyerbukan. Nama bapaknya: Aristokra, juga diambil dari Yunani kuno. Mirip laah.
...screenshot dari TheBump - Pregnancy, Parenting, and Baby Information...


Jadi kutetapkan hati, untuk menggunakan nama Vanesha.

Selanjutnya, nama belakangnya apa ya?
*  *  *

Vedantari dan Harry Potter...
Nama "Dewa Ayu Putu" sangat Bali-ish.
Nama "Vanesha", sangat Barat-ish.
Jadi, kurencanakan nama belakangnya Hindu-ish.

Pikiran random membawaku teringat pada kisah Harry Potter. Tepatnya tentang empat penyihir terhormat yang mendirikan Hogwarts. Ingat namanya?
  • Godric Gryffindor
  • Rowena Ravenclaw
  • Helga Hufflepuff, dan
  • Salazar Slytherin
Pertama kali mendengar nama mereka, aku penasaran. Mengapa  huruf awalnya sama semua? Tak mungkin kebetulan. Kukira itu akan punya kisah tersendiri dalam novel, namun ternyata tidak. Jawaban atas misteri penamaan itu malah kutemui saat aku SMA, dari buku Deception Point-nya Dan Brown.

Novel itu mengisahkan seorang senator Amerika yang mengubah nama. Awalnya siapa, ah aku lupa. Menjelang pemilu, tokoh tadi mengubah namanya menjadi Sedgwick Sexton, hanya agar huruf awalnya sama-sama S! Wah!

Novel Deception Point menyinggung alasan sang senator mengubah nama. Ternyata, tradisi itu adalah hal klasik bagi budaya Eropa dan Amerika. Katanya sih, untuk keindahan, terkesan kokoh dan nasib baik.

J.K. Rowling serta Dan Brown punya benang merah. Selain dua-duanya penulis kesukaanku, mereka kini memberi inspirasi yang unik untuk nama putriku.  

Nah, kata bernuansa Hindu apa lagi yang lebih pas menemani kata Vanesha, dibanding kitab suci sendiri -Kitab Veda-?

Ya, Kitab Suci umat Hindu adalah Veda. Namun, Vedanta lebih spesifik lagi. Ia berasal dari kata "Veda" dan "Anta" (akhir). Vedanta adalah filsafat penutup dari pustaka suci penganut Hindu. Salah satu aliran pemikiran yang menekankan pada pengetahuan dan keharmonisan. Vedanta sering disebut ajaran universal, relevan untuk semua latar belakang. Tak cuma penganut Hindu.

Novel Lost Symbol-nya Dan Brown sempat menyinggung Upanisad, salah satu kitab kajian ajaran Vedanta.

J. Robert Oppenheimer, seorang ilmuwan yang dijuluki Father of Atomic Bomb-nya Amerika di masa Perang Dunia II juga menyelami Vedanta lewat Kitab Bhagavadgita.

...empunya bom atom pemerhati Vedanta...

Oiya, Upanisad itu kitab Hindu yang menarik. Intinya sih, tentang konsep ketuhanan Pantheisme. Bukan monotheis, bukan politheis. Tuhan menurut Vedanta bersifat Maha Dzat, berada pada segenap ciptaan-Nya. Jadi, ya jangan menyakiti makhluk lain, karena itu berarti menyakiti Tuhan. Cintailah sesama makhluk, karena itu berarti mencintai Sang Pencipta.

Ya, tat twam asi gitu lah intinya.

Selanjutnya, akhiran -Tari semata adalah penghormatan untuk istriku. Ia adalah penari sejak kecil. Tahun 2006, aku menonton istriku mewakili Kabupaten Jembrana dalam Pesta Kesenian Bali untuk menari. Saat bekerja ke luar negeri, ia juga sempat melakukan pertunjukan tari. Bahkan ia masuk ke SMA favorit di Jembrana berkat jalur prestasi tari.

...ibunya seorang penari...

Sementara aku? Jangan ditanya. Aku adalah siswa yang dihardik guru muatan lokal tari, karena menurut beliau, "Dewa! Kamu seperti robot kekurangan oli. Ndak lumas!"

Vedanta + Tari, jadilah Vedantari.

Ahh... rasanya sulit memberi nama lain yang lebih nyantol di hatiku.
*  *  *

Demikianlah petualangan dalam kepalaku hingga akhirnya tercetus nama Dewa Ayu Putu Vanesha Vedantari. Sebenarnya sih masih ada banyak cerita lain, tapi rasanya cukup lah untuk sebuah memoar. Tentu, itu intepretasi pribadiku. Anakku, kalian, pembaca blog ini, temannya kelak, jelas berhak punya intepretasi sendiri.

Yang pasti, Vanesha berhak tahu.
Bahwa nama yang ia sandang adalah doa yang kami titipkan pada semestanya kini dan kelak. Untaian kata yang dipikirkan sepenuh hati. Sampai mumet sendiri. Agar Vanesha tau, ia sepenting itu bagi ayah dan ibunya.

Bila ada yang berpegangan pada semboyan, apalah arti sebuah nama, Anda ya ndak salah juga. Nama hanya bahasa. Dan bahasa cuma untaian kata, yang kadang berserakan.

Untuk itu, sebagai penutup, ijinkan aku mengutip sambil mengubah puisinya Chairil Anwar...
Kami cuma tulang-tulang kata-kata berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang kata-kata itu

Anakku,
Tentukanlah makna dari namamu sendiri, kelak. 


Selamat datang di dunia, Nak

Kau tahu? 
Kuingin duniamu kelak layaknya kanvas putih 
Di sana, engkau pelukisnya
Kau lah sang penyapuh derai warna
Berkreasi lah, Nak. Sak karepmu!

Karena, hidupmu adalah cerita tentangmu.

Sayang, dunia saat ini tak begitu

Telah ramai tersapuh warna, di kanvas bernama dunia
Aneka rupa, berbagai aliran, gelimang -isme
Dari hitam, putih, loreng, pelangi, dan banyak lagi

Mana yang benar?
Ahh.. bukan hak kita untuk menghakimi
Lagipula, perbedaan bukanlah hal yang ngeri
Selama semua bisa mendamaikan hati

Harusnya sih begitu...
Sayang, realita sering tak seindah prosa

Dunia akan senantiasa berusaha
Membuatmu jadi golongan mereka, Nak

Ahh... mereka tak tahan melihat perbedaan
Mereka be-like: Tarik atau dorong! 
Rangkul atau rundung! 
My way or the highway!

Si kelam ingin kau hitam jua
Si terang ndak terima saat kau memilih temaram
Si pelangi mengajak-ngajak. 
Sementara si loreng melarang-larang.

Padahal, hidupmu adalah cerita tentang mu, kan?

Hidupmu bukan tentang aku, ibumu, pun siapa jua
Bukankah Masashi Kisimoto juga berusaha,
Agar Boruto tak sekadar jadi "Naruto Jilid Dua"?
Sama. Engkau bukan "Dewa II: The Remake"
atau "Dayu Sequel"
Kisahmu bukan sekadar bab nomor sekian...
...lanjutan dalam buku hidupku

Ingatkan aku. Marahi aku, Nak, 
Bila kelak aku jemawa, mentang-mentang duluan lahir.
Bila aku mulai menarik-dorong mu, ke arah egoku
Jangan ragu. Hardik aku begini,
"Ayah! Kau harusnya memberi teladan...""  
...Tuntun lembut jariku, bukan dorong kasar punggungku..." 
"..Aku tengah bergiat menulis bukuku sendiri..."
"Kata ayah saat aku lahir, kan hidupku adalah cerita tentangku..."

Perkara mau jadi apa, terserah Engkau. 
Aku manut lagi percaya.
-tapi kalau boleh aku pinta-
Agar Engkau menyayangi Semesta.
Maksudku, semesta menurut John Venn
Nanti lah, aku ajari engkau diagram himpunannya

Aku berdoa,
Agar Engkau menghargai tiap rasa
Meski, bukan Engkau punya selera
Karena mereka sedang menulis bab cerita hidupnya masing-masing jua
Persis seperti Engkau, bukan?

Ah... aku sudahi saja coretan tak jelas ini
Hanya isi hati Ayahmu yang meluap, minta dituangkan dalam kata

Semoga duniamu lebih baik dari punyaku

Aku sayang engkau, Nak. 
I really do!

Lukislah dunia dengan warnamu, karena,
...hidupmu adalah cerita tentang Engkau...
Nama tokoh dan tempat tentu telah disamarkan...
... dan pengubahan seperlunya

"Nanti akan ada yang datang ya, bawa udang sekilo," begitu ujar istriku kemarin siang, saat kami asyik nyamil manggis di teras.

"Siapa yang bawain? Teman yang kemarin bawa manggis?"

"Bukan," sergahnya. "Yang kemarin itu Sinta. Yang bawa udang nanti Nela. Keduanya sama-sama kerja di Metro Restaurant, sih."

Oiya, perkenalan dulu. 
Namaku Dewa, dan istriku Dayu. Istriku kini mengemban jabatan ibu rumah tangga full time. Sebelumnya, ia bekerja di kapal pesiar. Sebelumnya lagi, Dayu bekerja di Metro Restaurant, sebuah tempat makan fancy di Bali yang sering dikunjungi pesohor dan politisi. Karena itulah, kami punya banyak kawan dari dunia pariwisata.

Akibat melorotnya kunjungan wisatawan ke Bali (jelas karena COVID-19), Metro Restaurant menutup operasinya sejak beberapa waktu lalu. Pekerjanya dirumahkan, tanpa dibayar. Suami Sinta adalah pekerja travel, sehari-hari mengantar turis keliling Bali. Suami Nela bekerja di Finna Beach Club yang kini juga tutup. Nama tempat memang kusamarkan, tapi Finna Beach Club adalah tempat nongkrong yang sedang hits. Sebelas dua belas lah dengan Omnia.

Begitulah gambaran generik keluarga muda Bali: pekerja sektor wisata. Suatu ceruk ekonomi yang menggiurkan dan cukup lah untuk mengatrol keluarga menuju middle class perkotaan. Namun saat ini, mereka tengah dihadapkan pada tantangan:
"Bagaimana menghadapi wisata Bali yang meruntuh, sementara suami istri sama-sama dirumahkan?"
Pasti pelik...

Nah, mari kembali ke teras rumahku.

"Tinn..."
Terdengar klakson motor, tanda Nela telah tiba. Aku dan istri bergegas mengenakan masker sembari membuka gerbang. Kedua ibu muda ini bercakap sana-sini. Awalnya aku hanya duduk mendengarkan dari dua meter, jarak aman physical distancing. Tapi akhirnya gatal pengen nimbrung jua.

"Bagus nih udangnya. Dari mana dapat udang gede-gede begini, Nela?"

"Dari tambak, Bli..."  sahutnya berlogat Bali medok. "Biasanya sih disuplai ke hotel dan restoran. Nah, sekarang kan ndak ada permintaan."

Sekilas, Nela dan Sinta adalah wanita petarung. Kemarin Sinta datang dengan mobil penuh buah dari kampung untuk dijual kembali ke kota. Kini Nela datang dengan jaket tebal plus masker demi mengantarkan udang menembus terik Denpasar. Aku pun melanjutkan interogasiku. 

"Jadi... di dunia pariwisata sekarang para pegawai kebanyakan dirumahkan ya..."

"Yup, Bli, dianggurini gitu aja. Plus... tanpa kompensasi. Entah sampai kapan..." sahut Nela. Ada rasa menerawang, bimbang dalam jawabannya.
Foto istriku ini kuambil dari medsos Nela

Singkat cerita, kami tak ingin menghalangi Nela mengantarkan udang ke pelanggan selanjutnya. Ia berpamitan setelah ijin memfoto istriku berpose memegang udangnya. Mungkin untuk promosi di medsos. 

Waktu berlalu, matahari telah kembali ke peraduan. Aku bersama Gustu (adik istriku) mulai menyusun arang di halaman. Udang segar begini enaknya dibakar.

Gustu sibuk meracik bumbu: sekadar cabai, kecap manis dan minyak goreng. Istriku asyik di dapur, entah menyiapkan sosis, kentang, dan apa saja yang ada di kulkas. Sekilas, kami serasa hidup di jaman meramu dan berburu.

Mau bagaimana lagi?
Tempat makan pada tutup. Kalaupun buka, siapa yang mau singgah? Membeli bahan makanan pun tak lagi leluasa karena physical distancing. Tapi tak berarti kehilangan motivasi untuk ceria, bukan? Ceria itu wajib. Demi imunitas.

Sembari menikmati sajian home-made, Gustu dan Dayu tersenyum puas. "Udangnya hanya dipakai setengah, lho..." ujar istriku. "Kemanginya juga petik di depan. Jadi cuma habis empat puluh ribu. Kalau makan di restoran Jimbaran, ini pasti udah kena setengah jutaan."
 
Gustu ikut menimpali, "situasi bikin kita ndak bisa ke Jimbaran. Makanya Jimbaran yang kita bawa ke rumah."

... gambar yang telah didramatisasi Snapseed...







Duduk bersama di teras seperti ini, kami jadi mengucap syukur. Syukur masih bisa tersenyum di tengah dunia yang sedang muram.

Namun sayang, ternyata hari ini tidak ditutup dengan keceriaan.

Malam makin larut, perabot telah tercuci. Kulihat Dayu mengernyitkan dahi memandang telepon genggamnya. 
Aku jadi penasaran, "Serius amat. Kenapa?"

"Habis lihat story teman. Hmm... sepertinya Metro Restaurant mem-PHK para pekerjanya. Barusan banget."

Degg... 
Terbayang keluarga kecil Sinta dan Nela yang baru saja kutemui, pasangan suami-istri itu sedang kehilangan mata pencaharian pokok. Jelas mereka tidak sendirian. Ada banyak sekali pekerja wisata, ribuan Sinta dan Nela lain di luar sana yang mungkin mengalami hal serupa.

Keadaan ini membuatku ingat pada podcast Pak Chatib Basri bersama Rayestu tempo hari. Mereka membahas dampak ekonomi COVID-19 (bisa disimak di sini), utamanya bagi kelas menengah. 

Salah satu poin yang beliau tekankan, adalah kaum terbawah ekonomi umumnya sudah memiliki jaringan pengaman sosial. Ada PKH, ada juga subsidi listrik. Sementara, kaum menengah saat ini belum punya jaring semacam itu. Contoh nyatanya pekerja pariwisata yang sedang dirumahkan atau diberhentikan. "Jangan lupakan kelas menengah dalam jaring pengaman sosial," ujar Pak Dede, sapaan Pak Chatib.

Tentu di rumah Sinta dan Nela tidak terpasang meteran listrik 450 VA maupun 900 VA yang sedang mendapatkan subsidi. Kuyakin juga mereka tidak tergolong keluarga yang mendapat bantuan PKH (Program Keluarga Harapan). Ndak mungkin rumah mereka berlantai tanah.

Lantas, mereka dapat apa?

Jaring pengaman sosial macam apa yang tersedia untuk masyarakat kelas menengah macam mereka? 
Adakah? Jangan-jangan belum. 
Layaknya orang terjerembab, tentu lebih sakit bila tak ada jaring pengaman menjaga.

Di lain kesempatan, mantan menteri keuangan RI itu kembali menyuarakan hal senada.

...artikel selengkapnya silakan klik di sini...

Ahh.... keadaan memang sedang buruk di Pulau Dewata, pulau yang denyut utama ekonomi adalah sektor wisata. The bad news is, banyak yang khawatir bahwa yang terburuk bisa jadi belum datang.

Aku sebenarnya jarang mengumpat, tapi...
Damn...
*  *  *

Umat manusia akan mengenang 2020 sebagai tahun yang -duh gusti- penuh marabahaya. 

Media mainstream senantiasa memapar pemirsa dengan angka-angka dan singkatan. Entah itu ODP, jumlah kematian, PSBB, ventilator, dan berbagai istilah serem lain. Seolah pandemi adalah angka-angka. Seolah rutinitas baru tiap hari adalah mantengin angka positif dan kematian, layaknya mantengin skor bola di Livescore.

Ndak salah sih. Tapi jangan sampai kita mengesampingkan hal lain yang tak kalah penting.

Ada perasaan tak aman tengah berkecamuk di dada keluarga-keluarga. Kekawatiran itu bukan sekadar angka dan grafik. Itu jeritan hati orang tua yang bingung, bagaimana memastikan nasi tersedia di meja makan esok pagi. Itu juga keresahan hati pengusaha, yang tak sampai hati memecat tenaga kerja, namun juga tak sampai duit untuk terus berproduksi saat permintaan lesu begini.

Bagi Sinta dan Nela, resesi bukan "di depan mata". Resesi sudah datang, sudah menghantam ulu hati. Sumber penghasilan utama sudah hilang. Apakah angka-angka serem di TV akan meringankan pengeluaran rumah tangga mereka?
Entah.

Nah, pertanyaan terakhir: kita bisa apa?

Situasi ini adalah bencana, perlu ada keberpihakan kepada segenap lapisan masyarakat yang terkena dampak. Tidak cuma satu-dua profesi yang kehilangan penghasilan, kan?

Teknisnya? Penyelenggara negara lah yang lebih mampu dan paham. Mereka memengang kendali atas distribusi sumber daya, serta wewenang untuk menciptakan dan menegakkan regulasi. Regulasi dan sumber daya adalah bahan utama untuk memapah punggung rakyat Indonesia, sebelum punggung itu menghantam tanah. Itulah jaring pengaman sosial.

Siapa lah aku, hanya menyuarakan resah hati yang kulihat di sekitar. Benar-benar sedih rasanya memandang keadaan sulit ini. Semoga segera ada hal nyata dari penyelenggara negara, yang benar-benar meringankan beban yang makin berat saja di pundak rakyatnya.

...kedai UKM dekat rumah yang lesu...

Sementara itu, mari tengok ke sekitar. Ayo kita giatkan perputaran ekonomi antar kawan. Berbelanja kebutuhan ke warung depan, selain ke convinience store meski si warung ndak dingin karena tanpa AC. Ramaikan transaksi kawan kita yang memilih berdagang di situasi sulit ini. Dari kita, untuk kita. 

Berputarnya roda ekonomi --meskipun sekecil membeli telur dan mie instan di warung dekat rumah-- mungkin bisa mengentaskan satu keluarga dari ancaman tidur dengan perut keroncongan malam ini. Siapa tahu? Hal-hal kecil macam itu aku rasa adalah hal yang paling bisa kulakukan saat ini.

Dunia sedang tidak baik-baik saja
Mari rangkul kawan dan sekitar
Dukung, saling sokong, solid dan jaga
Siapa lagi, kalau bukan kita
?

Tidaklah ada bahagia, bila hanya tinggal satu orang saja di bumi yang kenyang, sementara semua orang lain mati kelaparan, bukan?

Berdoa, semoga semua segera kembali seperti sedia kala.

Semoga...

Masih ingat serial Kera Sakti?

Kebangetan lah kalau sampai ndak tahu. Serial ini sempat amat ngetrend di penghujung 90-an. Saking ngetrend-nya, kios-kios di pasar ramai menjual baju bergambar sang kera tengil, berhubung ia idola para bocah. Kera Sakti juga sampai dibuat remake-nya, entah berapa kali.

Aku menggolongkan diri sebagai penyimak serial Kera Sakti garis keras. Pokoknya ndak boleh terlewat barang satu episode pun.

Ada satu penggal kisahnya yang begini...

Alkisah, perjalanan ke barat mencari kitab suci sudah mau berakhir. Tong Sam Cong, Sun Go Kong, Ti Pat Kay, Sah Ceng, dan kuda putih --yang entah namanya siapa-- sudah hampir sampai di tujuan mereka: Kuil Lei Yin.

Sebentar... bener ndak sih tulisannya?
Entah. Tapi begitulah nama tokoh dan tempat yang kudengar saat masih SD. Mohon maaf bila ada kesalahan.

"Sudah jauh kita berjalan, Guru. Siluman lipan juga sudah mati dipatok siluman ayam. Kalau kita sudah sampai di Kuil Lei Yin, kita akan ngapain?" tanya Go Kong dan Pat Kay penuh penasaran.

Sambil tersenyum, sang guru menjawab, "kita akan mencapai pencerahan. Kita akan menjadi Buddha."

"Hmm... menjadi Buddha ya," Go Kong bersemangat. "Sepertinya keren. Bagaimana menjadi Buddha itu, Guru? Seru kah?"

"Menyenangkan. Kita tidak akan terikat pada duniawi lagi," sahut Biksu Tong bahagia. "Kita akan merasakan tentram. Duduk tiap hari, membaca kitab suci sambil memegang bunga."

Das! Bagaimana perasaan ketiga murid mendengar prospek semacam itu? Bahagia?
Tentu saja tidak!

Duduk memegang bunga? Go Kong yang suka melompat tentu sulit membayangkan dirinya akan duduk diam. Sah Ceng juga sedih, karena yang dia inginkan hanya melayani sang guru, bukan sekadar duduk. Pat Kay apalagi! Pupus sudah harapannya untuk berbahagia dengan para wanita seksi sesuai mottonya: sejak dulu, begitulah cinta. Deritanya tiada akhir.

Apa akal?
Mereka lantas pura-pura sakit. Agar perjalanan terhambat dan tidak segera sampai di Kuil Lei Yin.

Memandangi tingkah polah mereka, Tong Sam Cong hanya tersenyum seraya bergumam...
Duduk diam itu memang paling sulit. Lihat saja hewan. Jangankan pikiran, badannya saja selalu melompat-lompat. Menundukkan pikiran dengan tidak membiarkannya liar adalah kunci mencapai ketenangan. Itulah pencerahan.
Jelas ketiga murid Biksu Tong adalah personifikasi hewan. Kera yang pecicilan, babi yang nafsuan, dan kappa yang bukan main lugunya. Ketiga murid tidak bisa memahami ajaran Buddha dari sang guru.

Setidaknya saat itu belum.
*  *  *







A post shared by Dewa Made Cakrabuana Aristokra (@aristokra) on

Ada sebuah benda yang sudah kuidamkan sejak dulu.
Lama sekali, sejak kelas empat SD! Berarti sejak 1998 silam.

Aku mengidamkan sebuah patung Buddha.

Aku ingat, kala itu aku sedang sepedaan di sekitaran kampung halaman, di LC Dauhwaru, Kabupaten Jembrana. Saat melintas di belakang SMP 1, di antara sekian jejeran rumah, ada satu halaman tetangga yang menarik perhatian, sebut saja itu rumah Pak Kawit. Di halamannya terhampar rumput hijau. Uh, teduh sekali. Di tengah hamparan rumput, ada gundukan yang nampak seperti bukit kecil.  Di puncaknya tersebutlah pohon palem hias.

Menambah asri pemandangan, Pak Kawit sekeluarga tengah duduk bersama di halaman. Sosok ayah, ibu dan seorang anak asyik berkebun sambil piknik menggelar tikar. Sembari memotongi dahan kering, mereka minum es teh manis yang telah disiapkan sang ibu sebelumnya.

Sungguh pemandangan yang  poetic, mungkin kalau difoto dan dijadikan poster bisa menjadi contoh keluarga berencana berwawasan Wiyata Mandala ala Orde Baru.

Jadilah, aku pun terobsesi memiliki halaman seasri itu. Bedanya dalam bayanganku, yang ada di tengah gundukan bukanlah pohon palem. Melainkan patung setengah badan Buddha.

Mengapa setengah badan?
Bayangkan, kalau kita melihat patung Buddha ukuran jumbo menyembul di gundukan. Bisa jadi kita menggumam, "jangan-jangan ada patung Buddha raksasa di sini. Itu baru muncul kepalanya saja, badan besarnya pasti tertimbun di bawah gundukan!"

Padahal ya patungnya memang cuma setengah.

Begitulah.
Meski bukan sebesar impian, akhirnya imaji naif masa kecil itu kini kunikmati. Sama-sama ada hamparan rumput hijau, meski tak mampu seluas harapan masa kecil. Mari kita acungkan jari tengah pada kapitalis nan konsumeris yang membuat harga tanah di Bali terlampau kurang ajar.

Oke.
Lantas, mengapa patung Buddha?

Mungkin sejak tahun 1998 aku kelebihan asupan Kera Sakti.

Mungkin juga karena bagiku sosok Buddha adalah punk sejati. Ia berontak pada sistem Hindu di jamannya yang terlalu materialistik, lagi ritualis. Kelihatan megah, meriah, namun hati Siddharta yang hampa berteriak, ada kekosongan yang butuh diisi. Jadilah suatu tatanan nilai-nilai yang kelak disebut sebagai ajaran Buddha, penuh dengan pencarian makna ke dalam diri, bukan sekadar ingar-bingar tampilan ritual ke luar.

Siddharta berontak bukan untuk menyaingi, apalagi mempecundangi. Ia hanya menyuarakan apa yang ia rasa. Isi hati itu ternyata beresonansi, menggetarkan ratusan juta jiwa manusia yang ternyata merasakan hal serupa, bahkan jauh setelah Siddharta meninggal.

Berani tampil beda, melangkah keluar dari kungkungan nyaman untuk jadi kawanan bebek yang sama dengan kerumunan? Bagiku itu sangat keren.
*  *  *

Ajaran Sang Buddha telah menginspirasi banyak manusia, bahkan hingga kini. Salah satu dari manusia itu adalah seorang pemuda Inggris yang meninggalkan kehidupan lamanya untuk menjadi biksu. Namanya kini Ajahn Brahm.

Oh engkau tak tahu ia siapa? Mungkin serial buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya lebih akrab di telinga. Nah, beliau lah penulis buku best seller Gramedia itu.

Suatu hari, Ajahn Brahm diundang untuk mendatangi Indonesia. Sesampai di tanah air, layaknya pengundang yang baik, panitia menanyakan hal-hal yang ia perlukan. Rangkaian ceramah penyebaran dhamma tentu membutuhkan banyak hal, entah itu spesifikasi tempat tinggal, angkutan, makanan, hingga hal teknis macam proyektor dan sound sytem. Kenyamanan narasumber adalah yang utama. 

"Apa yang engkau butuhkan, Ajahn?"

"Segelas air," jawab Ajahn Brahm.

Sang penanya tentu bingung. "Maksudnya tentu kami sebagai pengundang perlu menyiapkan segala-gala keperluan demi kenyamanan narasumber..."

Ajahn Brahm kembali tersenyum. "Apa yang aku butuhkan nanti? Entahlah. Yang aku tahu, saat ini, tubuhku dan aku tak butuh apa-apa. Hanya perlu segelas air, kurasa."

Ajahn mungkin ndak ngeh, kalau mengundang pembicara, artis, hingga band, kita perlu menyiapkan tetek-bengek keinginan mereka yang seringkali aneh-aneh. Namun, begitulah sifat dasar manusia, bukan? Keinginan, hasrat, semua minta dipuaskan. Pondasi ilmu ekonomi pun tegas: manusia senantiasa berusaha untuk mencapai kepuasan.

Eh... jangan-jangan ini maksud titel buku Ajahn Brahm? Aku dan segala benda idamanku tak lebih dari cacing bersama barang kesayangannya, yang cuma kotoran? Makhluk tak berarti yang menghamba pada benda materi yang sujatinya tak berarti juga.

Ajahn dengan segelas airnya mengingatkanku, bahwa keinginan harus ditekan. Jangan biarkan ia melompat liar seperti Go Kong, atau nafsuan macam Pat Kay. Mungkin yang aku butuhkan bukanlah halaman luas, bukan sebuah patung, bukan pula gitar Gretsch White Falcon --mungkin hanya duduk dan segelas air?

Sungguh deep nan bijak bestari.

Atau... yah, atau bisa saja Ajahn Brahm saat itu memang cuma lagi haus, sih.