Hari - Hari Terakhir Bung Karno (bagian 2-habis)

, , 3 comments
Belum membaca bagian pertama dari kisah ini? Silakan klik disini
Cobalah, baca sambil dengar lagu ini. Lagu ini dibuat oleh Guntur Soekarnoputra tentang Ibundanya.



Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati. Ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tahu wajah sang ayah bengkak-bengkak dan sulit berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis.

Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. “Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden,” kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya.

Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya.

“Lho, Mbak Rachma ada apa?” tanya Bu Tien, kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien tersentuh dan menggenggam tangan Rachma. Sambil menggenggamnya, Ibu Tien mengantarkan Rachma ke ruang kerja Pak Harto.

“Lho, Mbak Rachma... ada apa?” sapa Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Jakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawat di Wisma Yaso.

Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara padanya malah lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu.

Bung Karno bengkak
Suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu. Koran itu langsung direbut dan ia dimarahi.

Kamar Bung Karno berantakan sekali. Jorok dan bau. Memang ada yang merapihkan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan untuk merawat Bung Karno, Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno. Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang perwira tinggi. Mahar hanya bisa memberikan vitamin dan royal jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa.  Jika sulit tidur Bung Karno diberi vallium. Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya yang tidak berfungsi.

Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso. Beberapa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno, bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno. Tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.

Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak.

Ketika tahu Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke menuju kesana. Sesampainya di depan rumah mereka berteriak

“Hidup Bung Karno….hidup Bung Karno….Hidup Bung Karno…!!!” 

Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, seketika tertawa dan melambaikan tangan. Tapi dengan kasarnya tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.

Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali. Kini ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.

Ia berteriak
”Sakit….Sakit ya Allah…Sakit…” 

tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.

Bung Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno seketika menulis surat pada Suharto dan mengecam caranya merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu.
Sahabat

Lalu Hatta bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno. “Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik”.

Hatta menoleh pada isterinya dan berkata
“Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku... kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini”. 

Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk dapat bertemu Sukarno. Ajaibnya surat Hatta langsung disetujui. Ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.

Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal.

Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan,

“Bagaimana kabarmu, No”

Hatta, tercekat. Matanya sudah basah. Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta, “Hoe gaat het met Jou?” kata Bung Karno dalam bahasa Belanda. "Bagaimana pula kabarmu, Hatta?"

Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya. Air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil. Dua proklamator bangsa ini menangis. :(

Di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia. Suatu hubungan yang menyesakkan dada.

Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama seperti pada saat proklamasi tahun 1945, dimana Bung Karno menunggu Hatta di kamar dahulu sebelum mau mengucap Proklamasi. Saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.

Mendengar kematian Bung Karno rakyat berjejer-jejer berdiri di jalan. Rakyat Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak rumah yang isinya hanya orang menangis karena Bung Karno meninggal, tapi tentara memerintahkan agar jangan ada rakyat yang hadir di pemakaman Bung Karno. Bung Karno ingin dikesankan sebagai pribadi yang senyap.



Tapi sejarah akan kenangan tidak bisa dibohongi. Rakyat tetap saja melawan untuk hadir.

Hampir 5 kilometer orang antre untuk melihat jenazah Bung Karno, di pinggir jalan Gatot Subroto banyak orang berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara yang melarang rakyat melihat jenasah Bung Karno menolak dengan hanya duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka diusiri tapi datang lagi. Tahu sikap rakyat seperti itu tentara menyerah. Jutaan org Indonesia berhamburan di jalanan pada 21 Juni 1970. Hampir semua orang yang rajin menulis catatan hariannya pasti mencatat tanggal itu sebagai tanggal meninggalnya Bung Karno dengan rasa sedih.

Koran-koran yang isinya hanya menjelek-jelekkan Bung Karno sontak tulisannya berbalik jadi memuja Bung Karno. Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan dengan secara manusiawi.

Namun, Yang Kuasa berkehendak lain. Bung Karno mendapatkan keagungan yang luar biasa saat dia meninggal. Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan, mereka melambaikan tangan dan menangis. Mereka berdiri kepanasan, ketakutan diintimidasi tentara, namun tetap berdiri dengan rasa cinta. Bukan sebuah keterpaksaan. Bahkan hingga jauh malam, jauh keesokan harinya, ribuan manusia mendatangi makam Bung Karno. Mereka terduduk, menangis, meski tentara berusaha ektra keras mencegah jubelan rakyat.

Dan sejarah menjadi saksi bagaimana sebuah rezim memperlakukan orang yang kalah, walaupun orang yang kalah itu adalah orang yang memerdekakan bangsanya. Orang yang menjadi alasan terbesar mengapa Indonesia harus berdiri, namun dia diperlakukan layaknya binatang. Kesepian, dan terbuang.







Ahh... Bapak! :) 

Apakah kau menyesal, Pak? Saat menolak tawaran dosenmu untuk menjadi seorang arsitek mapan dan justru memilih melakukan pergerakan kebangsaan? 

Menyesalkah kau, Bapak?
Sejak muda ditawan Belanda, sementara menutup usia sembari direnggut kebebasannya oleh bangsa yang kau perjuangkan kemerdekaannya?

Ah.... pertanyaan bodoh. 
Tentu kau tak menyesal. Sedikitpun tidak. 
Bilapun waktu bisa diulang, diputar kembali, kau pasti akan tetap memilih menjadi seorang Bung Karno.

Orang-orang mengira kau telah mati. Tapi mereka salah. Kau tetap hidup hati tiap rakyat Indonesia, bersama Pancasila...

...bersama Pancasila, dan semua harapan!

"Bung Karno masih hidup"

3 komentar:

  1. okey, I realize there was water on my eyes while I read your story....

    BalasHapus
  2. subhanaallah, hopefully allah swt save and taking place soekarno in Jannah .Amin YRA

    BalasHapus

Tinggalkan komentar sebagai name/url, dan tulis namamu di sana...