Sang Buddha Duduk

, , 1 comment

Masih ingat serial Kera Sakti?

Kebangetan lah kalau sampai ndak tahu. Serial ini sempat amat ngetrend di penghujung 90-an. Saking ngetrend-nya, kios-kios di pasar ramai menjual baju bergambar sang kera tengil, berhubung ia idola para bocah. Kera Sakti juga sampai dibuat remake-nya, entah berapa kali.

Aku menggolongkan diri sebagai penyimak serial Kera Sakti garis keras. Pokoknya ndak boleh terlewat barang satu episode pun.

Ada satu penggal kisahnya yang begini...

Alkisah, perjalanan ke barat mencari kitab suci sudah mau berakhir. Tong Sam Cong, Sun Go Kong, Ti Pat Kay, Sah Ceng, dan kuda putih --yang entah namanya siapa-- sudah hampir sampai di tujuan mereka: Kuil Lei Yin.

Sebentar... bener ndak sih tulisannya?
Entah. Tapi begitulah nama tokoh dan tempat yang kudengar saat masih SD. Mohon maaf bila ada kesalahan.

"Sudah jauh kita berjalan, Guru. Siluman lipan juga sudah mati dipatok siluman ayam. Kalau kita sudah sampai di Kuil Lei Yin, kita akan ngapain?" tanya Go Kong dan Pat Kay penuh penasaran.

Sambil tersenyum, sang guru menjawab, "kita akan mencapai pencerahan. Kita akan menjadi Buddha."

"Hmm... menjadi Buddha ya," Go Kong bersemangat. "Sepertinya keren. Bagaimana menjadi Buddha itu, Guru? Seru kah?"

"Menyenangkan. Kita tidak akan terikat pada duniawi lagi," sahut Biksu Tong bahagia. "Kita akan merasakan tentram. Duduk tiap hari, membaca kitab suci sambil memegang bunga."

Das! Bagaimana perasaan ketiga murid mendengar prospek semacam itu? Bahagia?
Tentu saja tidak!

Duduk memegang bunga? Go Kong yang suka melompat tentu sulit membayangkan dirinya akan duduk diam. Sah Ceng juga sedih, karena yang dia inginkan hanya melayani sang guru, bukan sekadar duduk. Pat Kay apalagi! Pupus sudah harapannya untuk berbahagia dengan para wanita seksi sesuai mottonya: sejak dulu, begitulah cinta. Deritanya tiada akhir.

Apa akal?
Mereka lantas pura-pura sakit. Agar perjalanan terhambat dan tidak segera sampai di Kuil Lei Yin.

Memandangi tingkah polah mereka, Tong Sam Cong hanya tersenyum seraya bergumam...
Duduk diam itu memang paling sulit. Lihat saja hewan. Jangankan pikiran, badannya saja selalu melompat-lompat. Menundukkan pikiran dengan tidak membiarkannya liar adalah kunci mencapai ketenangan. Itulah pencerahan.
Jelas ketiga murid Biksu Tong adalah personifikasi hewan. Kera yang pecicilan, babi yang nafsuan, dan kappa yang bukan main lugunya. Ketiga murid tidak bisa memahami ajaran Buddha dari sang guru.

Setidaknya saat itu belum.
*  *  *







A post shared by Dewa Made Cakrabuana Aristokra (@aristokra) on

Ada sebuah benda yang sudah kuidamkan sejak dulu.
Lama sekali, sejak kelas empat SD! Berarti sejak 1998 silam.

Aku mengidamkan sebuah patung Buddha.

Aku ingat, kala itu aku sedang sepedaan di sekitaran kampung halaman, di LC Dauhwaru, Kabupaten Jembrana. Saat melintas di belakang SMP 1, di antara sekian jejeran rumah, ada satu halaman tetangga yang menarik perhatian, sebut saja itu rumah Pak Kawit. Di halamannya terhampar rumput hijau. Uh, teduh sekali. Di tengah hamparan rumput, ada gundukan yang nampak seperti bukit kecil.  Di puncaknya tersebutlah pohon palem hias.

Menambah asri pemandangan, Pak Kawit sekeluarga tengah duduk bersama di halaman. Sosok ayah, ibu dan seorang anak asyik berkebun sambil piknik menggelar tikar. Sembari memotongi dahan kering, mereka minum es teh manis yang telah disiapkan sang ibu sebelumnya.

Sungguh pemandangan yang  poetic, mungkin kalau difoto dan dijadikan poster bisa menjadi contoh keluarga berencana berwawasan Wiyata Mandala ala Orde Baru.

Jadilah, aku pun terobsesi memiliki halaman seasri itu. Bedanya dalam bayanganku, yang ada di tengah gundukan bukanlah pohon palem. Melainkan patung setengah badan Buddha.

Mengapa setengah badan?
Bayangkan, kalau kita melihat patung Buddha ukuran jumbo menyembul di gundukan. Bisa jadi kita menggumam, "jangan-jangan ada patung Buddha raksasa di sini. Itu baru muncul kepalanya saja, badan besarnya pasti tertimbun di bawah gundukan!"

Padahal ya patungnya memang cuma setengah.

Begitulah.
Meski bukan sebesar impian, akhirnya imaji naif masa kecil itu kini kunikmati. Sama-sama ada hamparan rumput hijau, meski tak mampu seluas harapan masa kecil. Mari kita acungkan jari tengah pada kapitalis nan konsumeris yang membuat harga tanah di Bali terlampau kurang ajar.

Oke.
Lantas, mengapa patung Buddha?

Mungkin sejak tahun 1998 aku kelebihan asupan Kera Sakti.

Mungkin juga karena bagiku sosok Buddha adalah punk sejati. Ia berontak pada sistem Hindu di jamannya yang terlalu materialistik, lagi ritualis. Kelihatan megah, meriah, namun hati Siddharta yang hampa berteriak, ada kekosongan yang butuh diisi. Jadilah suatu tatanan nilai-nilai yang kelak disebut sebagai ajaran Buddha, penuh dengan pencarian makna ke dalam diri, bukan sekadar ingar-bingar tampilan ritual ke luar.

Siddharta berontak bukan untuk menyaingi, apalagi mempecundangi. Ia hanya menyuarakan apa yang ia rasa. Isi hati itu ternyata beresonansi, menggetarkan ratusan juta jiwa manusia yang ternyata merasakan hal serupa, bahkan jauh setelah Siddharta meninggal.

Berani tampil beda, melangkah keluar dari kungkungan nyaman untuk jadi kawanan bebek yang sama dengan kerumunan? Bagiku itu sangat keren.
*  *  *

Ajaran Sang Buddha telah menginspirasi banyak manusia, bahkan hingga kini. Salah satu dari manusia itu adalah seorang pemuda Inggris yang meninggalkan kehidupan lamanya untuk menjadi biksu. Namanya kini Ajahn Brahm.

Oh engkau tak tahu ia siapa? Mungkin serial buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya lebih akrab di telinga. Nah, beliau lah penulis buku best seller Gramedia itu.

Suatu hari, Ajahn Brahm diundang untuk mendatangi Indonesia. Sesampai di tanah air, layaknya pengundang yang baik, panitia menanyakan hal-hal yang ia perlukan. Rangkaian ceramah penyebaran dhamma tentu membutuhkan banyak hal, entah itu spesifikasi tempat tinggal, angkutan, makanan, hingga hal teknis macam proyektor dan sound sytem. Kenyamanan narasumber adalah yang utama. 

"Apa yang engkau butuhkan, Ajahn?"

"Segelas air," jawab Ajahn Brahm.

Sang penanya tentu bingung. "Maksudnya tentu kami sebagai pengundang perlu menyiapkan segala-gala keperluan demi kenyamanan narasumber..."

Ajahn Brahm kembali tersenyum. "Apa yang aku butuhkan nanti? Entahlah. Yang aku tahu, saat ini, tubuhku dan aku tak butuh apa-apa. Hanya perlu segelas air, kurasa."

Ajahn mungkin ndak ngeh, kalau mengundang pembicara, artis, hingga band, kita perlu menyiapkan tetek-bengek keinginan mereka yang seringkali aneh-aneh. Namun, begitulah sifat dasar manusia, bukan? Keinginan, hasrat, semua minta dipuaskan. Pondasi ilmu ekonomi pun tegas: manusia senantiasa berusaha untuk mencapai kepuasan.

Eh... jangan-jangan ini maksud titel buku Ajahn Brahm? Aku dan segala benda idamanku tak lebih dari cacing bersama barang kesayangannya, yang cuma kotoran? Makhluk tak berarti yang menghamba pada benda materi yang sujatinya tak berarti juga.

Ajahn dengan segelas airnya mengingatkanku, bahwa keinginan harus ditekan. Jangan biarkan ia melompat liar seperti Go Kong, atau nafsuan macam Pat Kay. Mungkin yang aku butuhkan bukanlah halaman luas, bukan sebuah patung, bukan pula gitar Gretsch White Falcon --mungkin hanya duduk dan segelas air?

Sungguh deep nan bijak bestari.

Atau... yah, atau bisa saja Ajahn Brahm saat itu memang cuma lagi haus, sih.

1 komentar:

  1. Sama, selalu damai melihat patung buddha... saya juga bukan buddhist

    BalasHapus

Tinggalkan komentar sebagai name/url, dan tulis namamu di sana...