Jadi...

Tiba-tiba aku memilih buku karya seorang bhiksu di rak Gramedia. Kawan-kawan punkers-ku bisa meloncat dari kursinya bila mendengar Dewa Cakrabuana memilih buku bhiksu, alih-alih buku sejarah G30S atau majalah Rolling Stone.

Oke, lanjut.

Sebuah buku yang ditulis bhiksu...

Apa yang ada di pikiranmu? Ini bakalan dalam, panjang, dan bersayap, mungkin. Kubayangkan isinya akan luhur, berbahasa sastra tinggi. Aku bukanlah penikmat sastra-hero macam Pramoedya, atau Dee yang bahasanya mengawang indah. Hanya pria sejantan Rangga di AADC yang kayak gitu.. Nah aku? Membayangkan pembukaannya saja sudah membuatku mulas. "Pasti dibuka dengan kutipan mutiara Sang Sidharta, Berat!" begitu pikirku.

Kurobek segel plastiknya -ritual menyenangkan tiap beli buku anyar- lantas kubuka halaman awal. Mulai kubaca kalimat pertama sang penulis di bagian Prakata... kata pembuka mutiara macam apa yang ku temukan?

"Pisang itu keren banget."

Eh?
Pisang itu... WTF? Lho kok pembukaannya gitu?


Aku mulai merasa bhiksu penulis buku ini kurang waras. Yasudah, kunikmati saja lembar demi lembar, toh sudah kubeli. Halaman demi halaman berlalu, dan ahh... akhirnya aku tersadar. Bhiksu yang awalnya kukira kurang waras ini ternyata sangat waras. Mungkin orang paling waras yang pernah melintas di kehidupanku.

Namanya Ajahn Brahm. :)
* * *


Judul           : Don't Worry Be Hopey
Penulis         : Ajahn Brahm
Tebal           : 205 halaman
Harga         : Lupa! 60ribuan? Yang pasti nilainya jauh diatas harganya.
Terbitan     : Pentingkah?


Beberapa kali kudengar nama Ajahn Brahm. Kudengar, ia penulis dengan filosofi Buddhis yang dihormati. Ya sebatas dengar itu saja. Genre motivasi dan pembangunan kepribadian bukanlah genre favoritku. Terlalu satwam seperti air mengalir di telaga, sementara aku merasa lebih klik dengan buku bersifat rajas, semangat seperti api menjilat-jilat.

Ajahn Brahm adalah penulis seri buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Pernah dengar, kan?Awalnya aku berkenalan dengan si cacing sekitar tiga tahun lalu, itu pun sekadar lewat. Mungkin saat itu aku dan si cacing belum berjodoh, tapi entah mengapa ia selalu mendapat tempat istimewa di hati. Saat ulang tahun sahabat kerjaku, Ricky, kuhadiahi dia buku si cacing. Saat menjenguk Pak Winasa di lembaga pemasyarakatan, buku si cacing jua yang kubawa untuk menemani mantan bupati idolaku melewati harinya disana.

See? Selama ini aku melihat si cacing sekadar sebagai "pilihan aman". Sebuah bingkisan yang tepat diberikan kepada manusia dengan selera apa pun.

Jadi, buku Don't Worry Be Hopey ini adalah buku pertama Ajahn Brahm yang kuberi atensi penuh. Atensi itu datang dengan sendirinya, karena buku ini -entah kenapa- memberikan sensasi yang menagihkan. Mengingatkanku saat membaca J.K. Rowling's Harry Potter, dan beberapa buku karya Dahlan Iskan, dimana aku membaca buku-buku itu sampai larut petang sambil bergumam,

"sialan sudah jam setengah duabelas. Oke satu bab lagi dan tidur, besok masuk sekolah...."

... Jrenggg... terjadi khilaf-literasi, dan tiba-tiba jam sudah menunjukkan 03.00 dini hari!

Buku Ajahn Brahm ini juga punya daya magnit seperti itu... sekaligus roller coaster emosi!

Membaca pendahuluannya cukup membuat senyum jahil penasaranku timbul. Ajahn Brahm bisa bertransformasi menjadi sahabat yang jenaka, namun bisa mendadak berubah menjadi ayah yang penuh kasih. Beberapa bab  membuatku terpingkal sampai memukul tegel. Namun persis bab selanjutnya bisa membuatku tertegun, meletakkan buku, lantas menelpon ibu yang jauh disana sekadar bertanya, "hai ibu... sehatkah engkau disana?"

Ahh... Ajahn Brahm!

Kita tak saling kenal, tak pernah bersua. Bahkan mungkin seumur hidupku takkan pernah sempat bertatap wajah denganmu. Sekadar melihat potret wajahmu di halaman belakang buku ini, aku teringat Jung Wah, keponakan yang baru lahir. Pure! Wajah tersenyum tenang yang memandang dunia tanpa tendensi, tanpa motif. Tak terpengaruh hiruk-pikuk dunia yang memikat namun mengombang-ambingkan.



Senyummu teduh tulus. Welas. Sungguhpun ku yakin dalam pemahamanmu ada begitu banyak hal-hal sujati tentang dunia, tapi dalam buku ini kau mampu menjabarkannya secara manis nan sederhana. Tapi tetap mengena! Layaknya seorang ayah ilmuwan astro-fisika yang menjelaskan kepada seorang anak kecil bodoh cerewet, mengapa bintang bersinar di langit malam. Bukan dengan menjabarkan reaksi fusi maupun magnitudo semu bintang, melainkan dengan analogi sederhana sampai anak itu tersenyum puas sembari menghargai keindahan bintang dan sang penciptanya.

Anak kecil bodoh itu aku.

Otakku yang cerewet seperti kerbau liar jadi tersenyum puas tepat di kalimat penutup buku mu, Bhante. Mungkin begini perasaan Sang Ekalawya: tak pernah bersua dengan Drona, tapi merasa begitu banyak telah menerima pemahaman baru tentang hidup dari guru itu.
* * *

Jadi, buku ini memang luarbiasa, Kawan!

Came on, bila dalam hidupmu ada selembar daftar bertitel, "Sepuluh Buku yang Wajib Baca Sebelum Kiamat," buku Don't Worry Be Hopey karya Ajahn Brahm ini wajib masuk dalam sana. Nikmati bukunya, nikmati hangat dan semangat sang penulis langsung ke hatimu.

Sedikit saran humble dariku untuk kalian semua, sahabatku,

"Bila engkau jalan-jalan ke toko buku, aku mendoakanmu masih menemukan buku luarbiasa ini di rak-raknya. Semoga pula hatimu tergerak untuk menebusnya di kasir. Semoga kalian, -kau dan buku Don't Worry Be Hopey- berjodoh!"

Read and smile :)
"... pasar di pagi hari, bersama Niang..."

Kubuka mataku perlahan, mengejap-ejap. "Sial, baru jam lima kurang lima belas!" kutukku dalam hati. Kadang sengaja kusetel alarm gaduh handphone di jam-jam ini, sekadar untuk terjaga lantas tidur lagi. Tahukah kalian, sensasi bangun awal dan menyadari masih ada waktu tidur adalah menyenangkan? Ha!

Tapi tidak untuk pagi ini. Pagi ini alarmku tersetel pukul 06:23... dan 06:25.... dan 06:30. Sekarang baru 04:45. Masih lama!

Ada apa gerangan?

Entahlah... tapi tubuhku langung terjaga penuh tanpa lelah. Padahal seingatku aku masih terjaga jam 01:45, artinya aku baru tidur tiga jam. Aku tidak merasa aneh, malah tersenyum lebar. Mungkin benar, luka itu tempatnya di fisik, namun lelah dan menderita itu tempatnya dalam hati, tergantung bagaimana kita memikirkannya. Satu lagi dari sekian banyak hal baru yang batin dan tubuhku alami di dua minggu ini. Dan atas semua hal itu,  aku bersyukur. :) 

* * *


Masih berbaring, kubuka tirai jendela di sebelah kasur. Berkas sinar malu-malu tampak tersamar di balik atap rumah tetangga, membuat rumah tetangga seperti benda gelap besar dengan sedikit sinar mentari di belakangnya. Ah, Kupang... kau dianugerahi lokasi yang lebih timur dari Bali, sehingga menyongsong Hyang Surya lebih dahulu. Jam lima subuh sudah benderang!

Sungguh, itu pemandangan yang keren. Terasa indah dan hangat!

Spontan saja aku melompat ke pemutar musik. "Mana lagu Melati Suci dari Guruh ya..." batinku sambil menyusuri track list. Ini dia! Segera ku klik tombol play, dan mengalunlah lagu itu. Selimut yang tadi tercecer di lantai kini kugulung di badan, dan aku duduk manis menghadap jendela. Menghadap ke arah timur.

Dalam duduk diam ini, pikiranku melayang jauh ribuan kilometer ke kampung halamanku.
Bapak Ibu hadirin yang terhormat.
Ada sebuah stereotipe yang menggantung di masyarakat.

Stereotipe itu berbunyi sebagai berikut;

Predikat Jegeg Bagus, Putri Indonesia, bahkan Miss Universe dan kontes sejenis lain hanyalah sebuah mahkota dan selempang kosong. Nihil kontribusinya! Sekadar sekelompok muda-mudi beradu tampilan, yang berawal dari panggung gemerlapan, berakhir di acara-acara seremonial dan baliho.

“Mengapa mereka menjadi duta pariwisata kami?” masyarakat bertanya-tanya, “Apakah mereka mampu? Selama ini tak kami rasakan kontibusi nyata dari mereka. Apa mereka secerdas payasan-nya?

Begitulah kira-kira bisik kecewa masyarakat Bali terhadap  kami, para Jegeg Bagus.

Seorang kawan pernah berkata padaku. Katanya, "Wo, orang menulis itu... karena hatinya resah."
Entah malam ini aku dilanda resah atau tidak. Apa pula makna istilah "resah" itu. Aku tak mengerti. Buatku bahasa adanya cuma kesepakatan. Tidak lebih.

Malam ini mendadak ku-silent telepon genggamku. Kupasang earphone di kuping erat-erat, sambil kuputar musik secara random via playlist di aplikasi musik.

Lagu-lagu berlalu, banyak yang sudah basi. Aku sudah hafal segala rincinya, dan akupun bosan. Tapi kebosanan itu berhenti tiba-tiba.
Orang ini...

ditolak di dua perusahaan tempatnya ingin bekerja. Hal yang biasa, kan?

Tapi lihat gambar tweet-nya di 2009, saat ia ditolak: tetap positif dan aku membayangkan wajah sedang tersenyum meski ditolak.

Andaikan saja ia saat itu berdada tak lapang, mengumpat dan marah. Mungkin ia tak jadi milyuner seperti sekarang.

My friends, please welcome...

Inilah co founder Whatsapp.... yang baru saja menjual aplikasi itu ke Facebook.

... dan ini tweet nya lima tahun lalu, saat ia belum jadi siapa-siapa.


Ini bisa dibilang sebagai marathon langit-langit.

Jumat kemarin tidur sembari memandangi langit-langit kamar 118 Aston, Kuta.

Sabtunya tidur sambil memandangi langit-langit kamar di Negara, Jembrana

Minggu? Terlelap sambil memandangi langit-langit kamar Mboktu, di perumahan Srikandi, Kebo Iwa

Keesokannya di Senin malam? Kelelahan! Tidur pulas di kamar kos, sudut kota Kupang

Selasa malam ini?
Aku akan tidur sambil memandangi langit-langit Timor Hotel.

Oh perjalanan dinas. Demi menunaikan tugas negara. Sungguhpun kau mendatangkan uang jutaan, terkadang materi tak berarti dengan tidur pulas dibawah langit-langit yang selalu akrab.

Tapi... aku diberkahi perjalanan melihat dunia di usia muda. Gratis! Dapat uang pula.

Muaranya harus lebih indah dari trilogi Negeri Lima Menara, donk!

Hari ini 29 Januari 2014. 
Aku terduduk di kamar kosanku, sudut kota Kupang.
Dan ini hari Siwaratri...

Ahh... hari raya yang keren di benak anak muda. Salah satu yang paling keren, mungkin. Di hari raya Siwaratri, kawula muda bisa secara sah melakukan hal yang biasanya ditabukan: begadang beramai-ramai!  

Metode begadangnya bagaimana?

Terserah masing-masing! Ada yang duduk melingkar, bertukar cerita bersama kawan. Ada yang semalam suntuk ngobrol dengan kekasih. Aku biasanya menjalankan Siwaratri di Pura Jagadnatha Jembrana. Yang pasti, sekitar jam satu usai sembahyang tengah malam, Pasar Senggol Negara akan ramai diserbu umat-umat kelaparan.

Malam Renungan Siwa...
Itu jawaban paling umum saat seseorang ditanyai, "apa sih makna Siwaratri?" Jawaban yang lebih umum lagi adalah, "Siwaratri ya malam peleburan dosa, donk!"

Yap, menurut mereka, tak hanya jaje begine dan pisang sisa banten yang bisa dijadikan leburan. Dosa juga bisa.

Eh, tunggu dulu.
Dosa? Dilebur?

Kalau dosa bisa dilebur, kenapa pula Arjuna yang begitu banyak berbuat dharma malah sempat masuk neraka saat episode "Mendaki Gunung brsama Seekor Anjing"? Benarkah konsep Siwaratri demikian?

Ingatan membawaku terbang ke awal tahun 2003. Sore itu gerimis kecil, aku sedang menyiapkan canang untuk bekal melaksanakan Siwaratri bersama rekan SMP 1 Negara.

Saat itulah kutumpahkan penasaran tentang Siwaratri pada Aji.
Sebagai ayah dengan reputasi mengukir logo lidah Rolling Stones di tembok rumah, sekaligus orang yang dengan rapi menggarisbawahi alenia-alenia majalah Warta Hindu Dharma, ia adalah referensiku mengenai spiritualitas sekaligus musik rock era 80an.

Dan di sana lah kisah ini berawal...

* * *

"Ji..." panggilku pelan membuka percakapan.

"Kalau Siwaratri bisa lebur dosa, kenapa Soeharto ndak ke Bali aja? Lumayan kan setelah banyak buat orang sengsara, tinggal begadang sehari. Beres. Dosa bersih!"

Aji senyum. Sambil berlagak misterius ia menuju rak buku agamanya.

"Ini baca dulu," beliau menyodorkan buku tipis bersampul hitam. SIWARATRIKALPA, judul buku itu kalau tidak salah.

"Agama itu penuh perlambang, De. Jangan diartikan secara harfiah," tutur Aji. "Bahaya kalau diartikan harfiah. Bisa-bisa malah keblinger. Begadang semalam eh ngira dosa seumur hidup dihapus. Baca Mahabharata eh ngira sah-sah saja bunuh guru, keluarga, kalau beda aliran kayak Arjuna. Berabe kan?"

Aku manggut-manggut, dan mulai membaca buku itu.

Buku Siwaratrikalpa diawali dengan sebuah kisah yang telah dihafal dengan baik oleh siswa SD seantero Bali. Asal-usul Siwaratri!

Tersebutlah sesosok manusia. Lubdhaka namanya. Pekerjaan sehari-hari? Berlumur darah, berlinang dosa. Ia memburu hewan-hewan di hutan. 

Seketika pula para pembaca akan memvonisnya masuk neraka. Tapi terjadi hal extraordinary. Suatu ketika ia berburu di malam tilem kapitu. Sialnya, tak seekor hewan buruan pun ia temukan. Anteng saja ia berjalan sendirian di tengah hutan. Tak berbicara (tentu saja, kan sendirian!), tak makan pula. Karena takut diincar binatang buas, ia juga tak tidur. Menghilangkan kantuk dilakukan dengan naik pohon bila di sisi telaga, sembari memetik-metik daunnya.

Tanpa sepengetahuan si pemburu, ternyata dalam telaga itu berstana lingga Dewa Siwa. Si Lubdaka anteng saja memetik daun dan menjatuhkannya ke sana, mengusir kantuk.

Hari-hari pun berlalu seperti biasa. Lubdaka pulang, kembali ke pelukan keluarga tercinta. Beberapa tahun berlalu, selayaknya makhluk hidup, pemburu ini pun tak luput dari hukum lahir-hidup-mati. Lubdaka sakit dan akhirnya meninggal. Karena dosa selalu membunuh hewan, ia dihukum di neraka, di bawah kekuasaan Dewa Yamadipati.

Namun, Dewa Siwa ingin Lubdaka di surga. Lho?

Rupanya ulah Lubdaka melakukan pemujaan di malam Siwa secara tak sengaja itulah yang jadi penyebab. Dewa Yama tentu tak terima, maka terjadilah pertempuran demi memperebutankan arwah si Lubdaka. 

Singkat cerita, akhirnya Lubdaka bahagia di surga.

Tamat!

"Hmm.... Tak bicara, tak makan, dan tak tidur," hitungku dalam hati. Dengan tiga hal ini, aku mulai berkhayal dengan mudahnya akan diselamatkan Dewa Siwa saat nyaris digoreng di neraka-nya Dewa Yama, karena semasa hidupku telah menyakiti hati beberapa wanita.

Tapi sekali lagi, lewat buku yang disodorkannya, Aji mengajariku sesuatu.

* * *

"Lubdaka itu, De...," kata Aji memulai wejangannya, "ya kita ini!"

Aku beringsut, duduk mendekati beliau.

"Lubdaka itu bahasa Sansekerta. Kalau di-Indonesia-kan, artinya pemburu. Aji ini pemburu, kamu ini pemburu, yang baca blog ini (?!) juga pemburu. Semua manusia hakekatnya pemburu. Kita berburu harta, pengetahuan, dan segala pemuas indra lain. Kamu itu Lubdaka."

Aku mengernyitkan alis.

"Lubdaka dikisahkan berjalan di malam yang gelap. Di tilem tergelap sepanjang tahun, yaitu tilem kapitu. Dalam kisah Lubdaka, De, malam gelap itu disebut awidya. Gelap. Tanpa cahaya," lanjut Aji mulai bersemangat. "Harus apa kita kalau sadar berjalan di tempat gelap?"

"Senantiasa terjaga dan waspada? tebakku sekenanya.

"Itulah hakikat si Lubdaka," senyum Aji mengembang sabar. "Berjalan di tengah awidya, Lubdaka melakukan jagra tan aturu. Menghadapi kegelapan, Lubdaka melakukan terjaga, tidak tidur."

"Seperti kata Aji di awal, awidya itu kata bersayap, De. Tersusun dari kata 'a' artinya tanpa, dan 'widya' yang berarti cahaya. Tanpa cahaya. Selain itu, awidya juga bermakna kebodohan atau tanpa pengetahuan."

Das! Saat itu aku paham, mengapa LKS agama ku bertitel Widya Sari. Atau aktris Widyawati yang begitu bercahaya. Ehm.

"Terus, bagaimana caramu melewati hidup yang gelap tanpa berpengetahuan?" tanya Aji retoris, "tentu dengan eling. Tidak terlena. Lubdaka disimbolkan melewati malam gelap dengan Jagra. Jagra itu artinya kan "tidak tidur". Manusia bisa saja tersesat, De... terlena mencari pemuas kehidupan. Ada yang iteh mencari uang, mencari kesenangan. Itu hidup yang awidya. Terjaga lah."

"Lubdaka berjalan sendiri. Tak ada yang diajak bicara. Mona brata. Itu jalan hidup para pencari Tuhan. Pertapa, Yogi, Sufi, kebanyakan mencari sepi, kan? Di saat kamu mengurangi bicara, mengurangi riuhnya dunia luar, pada saat itulah kamu banyak mendengar suara hati sendiri."

"... berjalan di hutan gelap..."

"Suara hati itulah suara Tuhan, De," senyum Aji, "Zainnuddin MZ pernah bilang, Tuhan itu jauhnya tak terkira, namun lebih dekat dari urat leher manusia. Siapa lagi yang berbisik "jangan"saat kamu hendak berbuat curang? Suara hati begitu tulus. Sayang, bila tak dianggap, ia lama-lama semakin hilang."

Aku manggut-manggut.

"Sekotor-kotornya dosa manusia itu, kalau ia eling akan hakikatnya, duduk sejenak untuk introspeksi diri, Tuhan senantiasa akan membuka jalan, De. Kalau menurut Aji sih, itulah makna Siwaratri. Jauh lebih dalam dari sekedar tidak tidur tidak makan tidak bicara dan dosa pun terhapus. Tapi tentu ritualnya harus dijalankan dengan khusyuk juga, kalau kuat!" ujar Aji, menutup wejangannya sore itu.

* * *

Ahh... Aji memang selalu bisa memberi sisi lain dari sesuatu.

Aku pun bangun dari duduk bersilaku, Bergegas mandi dan berangkat ke SMP 1 Negara. Duh, OSIS mesti menyiapkan sarana persembahyangan Siwaratri sebelum siswa-siswi berangkat ke Jagadnatha.



"Percakapan Imajiner Anak dengan Ayahnya"
ditulis di Kupang, bersiap-siap ke pura nanti tengah malam...
... bersama kawan-kawan)
Sabtu pagi, nak lingsir menyampaikan salam pagi bagi jejaka rantau yang baru bangun. Diingatkan untuk senantiasa bermanfaat.

Jadilah Sabtu kemaren jejaka itu mencuci pakaian, pergi berburu baju batik, ke bengkel menyervis motornya, sampai pergi ke tempat cuci motor...

suksma, Mpu...



Aku lupa hari itu hari apa. Entah Senin atau Selasa. Tahun 2012.

Hari itu kami janjian untuk pergi karaoke bersama. 

Seriously, karoke di sini berarti benar-benar bernyanyi. Bukan karoke aneh-aneh, apalagi karoke plus-plus. Kami hanya pergi ke karoke keluarga NAV. 

Kami?
Yup! Kata "kami" mengacu pada sekelompok kawan lama masa sekolahan, yang entah kenapa setelah empat tahun kelulusan SMA berlalu, masih saja suka nongkrong sama-sama.

Kadang-kadang orang melihat ini sebagai keanehan. Seperti misalnya suatu ketika saat kami makan dan ngobrol di McDonald Gatsu.

"Ih Bojes," seru seorang anak perempuan -ternyata teman SMA- menyapa kami yang sedang serius menyusun french fries ke dalam burger. "Masih aja kalian yah, mainnya sama ini-ini aja," sambungnya sambil tergelak.

Yeah... itulah kami. Masih bersahabat sampai sekarang.

Sampai saat ini aku sedang makan bersama Widya, kawan SMA ku. Kulirik penunjuk waktu di handphone. Sudah jam 9.45 petang. Aku dan Widya buru-buru menghabiskan hidangan yang kami pesan di AW. Sebelum bernyanyi tentu perlu isi perut, apalagi harga makanan di dalam ruang karaoke sedikit di luar azas kepatutan. 

"Malunan be ci mecelep, Wa... Cang nyusul njep. Cang ngajak Trisna," begitu balasan pesan singkat Adit saat kutanya mengapa ia belum muncul juga. Baiklah kalau begitu, aku dan Widya pun bergegas masuk ke gedung NAV. Setelah berbincang-bincang memilih ruangan, kami pun segera memulai sesi karaoke.

Tak sampai beberapa lama, satu-persatu mereka mulai berdatangan. PG datang, Bojes datang, Maha datang, Agni datang dan Adit bersama Trisna akhirnya datang. Kami bersama duduk di sofa ruangan karaoke sambil leyeh-leyeh bersantai.

Malam ini spesial, kawan!

Ini adalah malam terakhir Adit di Pulau Dewata. Keesokan harinya ia harus berangkat, terbang ke Kalimantan untuk melaksanakan tugas. Ia baru saja diangkat menjadi pegawai di Aneka Tambang, Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang pertambangan.

Malam ini pokoknya harus gembira! Kami pun mulai memilih-milih lagu, memenuhi playlist.

Namun aura ternyata tidak bisa dibohongi. 
Seberapapun usaha kami lakukan agar terasa ceria, tetap saja terasa ada yang mengganjal di hati. Kulihat air muka kedua pasangan ini. Keduanya memancarkan sinyal rasa sepi di tengah dentuman musik dan sorotan laser-laser hijau kurus khas ruangan karaoke NAV. 

Kami mulai menggoda pasangan yang akan berpisah ini. Berandai-andai tentang hubungan jarak jauh, sampai menyinggung-nyinggung kemungkinan gangguan dari orang ketiga. Haha! Tentu semua hanya bercanda saja, saling ejek khas kawan lama. 

Adit hanya tertawa-tawa, lalu mendadak mencari lagu "Marry Me" di layar komputer. Siapa penyanyinya ah... aku lupa. Yang jelas lagunya bernuansa akustik. Seketika itu pula, Trisna melakukan apa yang disebutkan dalam hukum aksi-reaksi. Ia bereaksi dan memilih lagu berjudul "I do." Penyanyinya? Ah aku lupa juga. Pokoknya lagu bernuansa ceria itu dinyanyikan oleh seorang wanita. 
"I do... I do... I do.. u u u.. u u u u...." begitu lah pokoknya reff lagu ini.

Ini hal seru! Segera kupencet tombol yang menampilkan playlist. Lagu "Marry Me" dari Adit disahuti lagu "I Do" dari Trisna. Kalau di Twitter, ini sudah layak mendapat hashtag #kodebanget.

Kuambil Blackberry Adit. Jeprettt! 
Kufoto layar komputer yang berisi urutan lagu #kodebanget itu. Kupakai juga kamera handphone ku untuk mengabadikannya. 
"Suatu hari nanti," aku berujar pada mereka, "foto ini akan jadi keren!" sambil tersenyum jahil.

Waktu berlalu, minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun.
Semesta seringkali bekerja layaknya penulis novel romantis, dengan menyatukan kedua anak manusia ini dalam hubungan pernikahan.

Lalu di mana foto playlist itu?
Entah di mana. Semesta juga terkadang kejam, memutuskan bahwa handphone ku hilang beberapa lama kemudian, hilang entah kemana beserta semua foto yang telah diabadikannya.
* * *

Halo... Aditya Pringgajaya!

Entah kau masih ingat atau sudah lupa satu penggalan cerita hidup di atas. Penggalan episode hidup yang berakhir di jam satu malam, saat kau masuk ke Yaris putihmu bersama Trisna, melambaikan tangan padaku dan Widya dari parkir di depan ICE. Ah kurasa kau sudah lupa, haha!

Akhirnya kau menikahinya juga, Dit!
Dahulu, kami hanya mendengar selentingan kabar burung, bahwa kau berpacaran dengan seorang bernama "Trisna". Berhubung ia anak SMANSA (hidup FOURSMAAA #fanatismealmamater) tiada dari kami yang tahu siapakah pacarmu itu.

"Ndak tau, denger-denger anak STP," kisah Widya padaku.

Beberapa semester di masa kuliah berlalu, kudengar kau masih bersama "Trisna". Dan kami pun jadi penasaran. Bagaimana bisa seorang chick magnet (faktor 95% kau kupinang jadi vokalis) ini bertahan begitu lama dengan seorang gadis? Mengingat reputasi yang... yah banyak digandrungi wanita sekaligus petualang dari pelukan ke pelukan.

Siapa sebenarnya "Trisna,"? Siapa el matador yang kelihatannya bisa menjinakkan Adit si banteng petualang?

Jawaban pertanyaan diatas baru datang berbulan kemudian.

Hari itu kau pertama kali mengajaknya ke karaoke. Asal kau tahu, Dit, saat itu kami semua sebenarnya enggan. Malas!

Enggan karena karaoke adalah tempat suci untuk kita, eks dua band Foursma yang merasa berbahaya: Don Cry For Me Indonesia dan Instinct yang masih bersahabat erat bertahun setelah panggung terakhir mereka. Ritus karaoke kita tabu dikunjungi kaum wanita. Di sanalah satu-satunya tempat kita yang jarang-jarang bertemu karena kuliah jauh ini bersua sambil menyanyi. Di sana kita duduk bersama. Tertawa, berbagi lagu baru. Persis seperti yang kita lakukan menjelang ulang tahun sekolah dulu.

(mendadak playlist memutar This Way, by Depapepe. Jadi rindu kamar Widya detik ini, ha!)

Dan kau -bisa-bisanya- mau mengajak seorang wanita ke sana, Dit!

Vokalis mengajak wanita ke dalam pergaulan kawan musisinya adalah hal buruk. Itu yang kami percayai. Tanya saja bagaimana perasaan Paul, Ringo, dan George saat bisa-bisanya Lennon mengajak Yoko Ono ikut masuk ke studio: Beatles bubar!!!

Kuingat saat itu kau dan Trisna asik duduk bersama dalam ruang karaoke. Sekilas gadis itu terkesan baik. Ia bahkan selalu mengingatkan Widya dan Maha untuk memilih lagu dan bernyanyi. Entah karena memang bawaannya, atau karena kuliah di pariwisata yang menuntut hospitality. Ia terasa bisa membuat suasana selalu ceria. Itulah kesimpulan kami yang tentunya bercakap-cakap dibelakangmu.

Kemudian saat itu Trisna memilih lagu. Wanita normal tentunya akan memilih lagu Raisa, atau jazz permen ala hipster lainnya sebagai bukti bahwa mereka gadis gaul trendi hasil cetakan MTV dan Instagram. 
Tapi gadismu itu memilih lagu lain...

... "Alone" by Heart.

Oh came on! Slow rock jaman vokalis harus gondrong dengan suara melengking? Selera musik gadismu ternyata oke juga. Tapi nada lagu itu begitu tinggi sampai dia akan tercekik di reff.

Tapi kemudian ia bernyanyi.

Hmm... 

Sial....!!! Malah keren sekali!
Nada-nadanya dapat semua. Semua nada tinggi tersentuh manis. Aku dan PG akhirnya sepakat bahwa mendengar Trisna menyanyikan lagu itu bisa membuat lelaki gay menjadi straight lagi.

Begitulah akhirnya, sampai kedatangan Trisna malah menjadi hal yang kami nanti dalam tiap karaoke. Ia memberi tembang-tembang segar pada daftar lagu kita yang itu-itu saja. Haha! Ia juga rutin hadir di acara manggang. Pertemuannya dengan kami, para sahabat-sahabatmu ini, kian menguatkan kesan:

She's a good girl.
And you are FINALLY good boy! 

Tak ada yang lebih setia dari petualang cinta yang insyaf dan akhirnya bersandar di satu pelabuhan hati, bukan?

Sampai kalian memutuskan untuk menikah. Akhirnya!
* * *

Yeah Dit...
Waktu berjalan tak terasa.

Dan sekarang kau mendahului kami semua merebut titel "suami". Tentu kau pula yang akan pertama menjadi seorang ayah. Selamat kawan!

Aku dan kawan-kawan selalu berharap kau dan keluarga barumu selalu sehat dan berbahagia. Jadilah suami yang selalu Trisna banggakan saat ia mengobrol dengan ibu-ibu tukang gosip satu komplek. Jadilah anak yang selalu diceritakan ayah-ibumu dengan bangga kepada kolega-kolega kerjanya. Nanti, jadilah ayah yang selalu diceritakan dan dipamerkan Adit Junior pada teman-temannya di kelas. Dengan bangga pula!

Untuk kami? Ahh... kau sudah menjadi kawan yang membanggakan.

Hmm... 
Entah siapa diantara kami yang akan menyusulmu lebih dahulu. Aku kah? PG atau Bojes kah? Atau Maha, Budi dan Widya? Mungkin Agni.

Yang pasti..... kutunggu hari di mana kita yang sudah paruh baya duduk melingkar sambil manggang daging. Sembari menertawakan kebodohan dan kesombongan masa muda kita. Sambil mengawasi pemanggangan, kita lirik istri-istri kita yang bercerita sambil tertawa-tawa di kejauhan, melihat anak-anak mereka bermain bersama. Dan anakmu yang paling tua!

Oh fuck yeah.... Hari itu akan sangat keren... :)